Senja
berbalut jingga,
Cahaya
keemasan menerobos asap teh
Menyisakan
lengkung senyum di beranda
Berhias
kepak burung berarak
Celoteh
bocah digiring pulang
Sore
yang genit,
Duduk
wanita beruban memilin imaji
Menyulam
kata mengasah makna
Itulah
aku!
:Yang
berkarya di usia senja
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh42eGIwarIrfDjF9clZKWR2-Vk8waiHcYKhgORGrmaogcXPYlQoZgRfs0V7IVBGaUZBaTAQFMK9C59fKrniIfzlJC6nfhC1MbhN4_eXaxfLEnhH6cGIzz6ZK00wmcnRlpaGfDvGC4VJOQ/s400/BUKU-BUNDA.jpg) |
Alhamdulillah. Semoga istiqamah menebar manfaat. |
Sejak berseragam merah putih aku
suka membaca. Bacaanku waktu itu kebanyakan buku perpustakaan SD. Berhubung
jumlahnya terbatas, beberapa buku kubaca hingga tiga kali, sampai hapal titik
komanya. Pernah suatu hari aku membaca cerita seru. Namun, ujung halaman
majalah anak itu sobek. Aku tak menemukan endingnya.
Perasaan rasa ingin tahu dan kecewa beraduk, sejak itu aku gemar menulis
cerita-cerita singkat.
Setiap hari aku menulis puisi di
buku tulis lusuh. Saat berantem dengan teman, kutulis kejadian lengkap dengan
cacian dan tanda seru yang membuatku puas meskipun tak harus membalas. Ketika
mendapat hukuman di sekolah kuciptakan bait-bait jengkel berujung tawa, dengan
begitu tak kusimpan dendam. Dan, saat pertama kali menerima surat merah jambu
dari kakak kelas, kubalas rayuan gombal itu dengan puisi nasihat, “Lebih baik
kita bersahabat”. Gaya, ya! Hahaha…
Kebiasaan mencipta puisi ini berlanjut
di bangku SMP. Aku kerap dapat order nulis puisi untuk nembak cewek atau cowok
pujaan. Cinta monyet bermodal puisi ini sangat ngetop di era 80-an (mulai
ketauan tuwirnya). Tidak ada honor nulis waktu itu. Aku cukup puas dengan makan
gratis di kantin sekolah. Kumpulan puisi semakin menggunung, namun entah belum
ada niat mengirimkannya ke media.
Saat
berseragam abu-abu putih, aku mencoba kirim cerita pendek ke majalah remaja.
Suatu hari saat pelajaran berlangsung, tiba-tiba aku dipanggil ke ruang
Bimbingan Penyuluhan (sekarang ruang BK). Sepanjang lorong aku menduga-duga apa
salahku. Ruang BP identik dengan anak bermasalah. Aku tak punya masalah! Aku
merasa tidak aneh-aneh dan tak pernah dihukum sebab sebuah pelanggaran.
Perlahan
kumasuki ruang lengang. Bunyi jarum jam di dinding seperti mengajak berlomba.
Aku tak mau mundur sebab merasa tidak bersalah.
“Benar
ini, kamu?” Nama yang amat kukenal terpampang cantik di bawah judul cerita.
Oh,
jadi ini masalahnya. Dua bulan lalu aku mengirim cerpen ke sebuah majalah. Aku
menulis alamat sekolah karena kupikir agak susah menjangkau alamat rumah di
kampung. Benar saja. Ketika cerpen itu dimuat, pihak sekolah kelimpungan
mencari tahu nama asliku sebab aku mencantumkan nama pena, tanpa menulis nama
asliku. Ini menjadi pelajaran penting namun sayangnya tak menjadikan diriku rajin
mengirim naskah. Aku terlalu asyik
mengumpulkan karya lalu menjadikannya dokumentasi pribadi.
Menulis
puisi, cerita pendek, cerita bersambung terus berlangsung. Saat aku diterima bekerja
sebagai sekretaris pimpinan redaksi di sebuah koran lokal di Denpasar, seorang
laki-laki berwibawa menanyai bacaan kesukaanku. Kami mengobrol lama hingga di
ujung pertemuan hangat itu baru tersadar ternyata beliau bang Adek Alwi;
cerpenis senior yang karyanya kerap kunikmati di Majalah Anita, waktu itu. Sungguh tersanjung! Ternyata aku sekantor
dengan Bang Adek Alwi terlebih di hari-hari berikutnya aku juga menjadi
sekretarisnya, selain menjadi sekretaris Bang Arie Batubara.
Kedekatanku
dengan para penulis ternama tidak menjadikan aku rajin mengirim karya. Aku
masih nulis dan sekali lagi, aku cukup puas dengan menyimpannya di tumpukan folder pribadi. Kebiasaan ini terus
berlangsung sampai aku pindah bekerja di
bank swasta. Masih sebagai sekretaris Pimpinan Cabang. Di sini pun aku pernah
diminta menulis puisi oleh salah seorang rekan kerja.
“Makasih
ya, pusingku ilang tiap baca pusimu,” ungkap rekan kerjaku itu.
Dalam
hati, itulah yang kulakukan selama ini. Puisi menjadi sarana ‘membuang’
masalah.
Sejak
memiliki buah hati aku memutuskan menjadi ibu rumah tangga total. Kesibukan
merawat anak dan memulai bisnis sempat menjauhkanku dari dunia menulis, namun
membaca tetap menjadi menu harian.
Pertengahan
2005 aku dihubungi ketua FLP Bali, Mas Hanafi waktu itu, yang akan mengadakan
workshop menulis artikel, cerpen, dan novel. Saat itu usaha laundry yang kami
rintis tengah berkibar dan kedatangan Mas Hanafi untuk meminta kami menjadi salah
satu sponsor. Deal! Aku berkesempatan mengikuti acaranya.
Peserta
workshop di Denpasar rata-rata masih muda. Aku tercatat sebagai peserta paling
tua, tapi pedeh ajah, hahaha. Selama mengikuti workshop itu aku dua kali terima
hadiah. Pertama, dapat termos unik sebab
outline artikel berjudul Pengaruh Bom pada Masyarakat Bali
dinyatakan lolos dan siap dikembangkan. Kedua, buku novel gratis untuk
kelompokku karena narasi drama dinyatakan paling bagus oleh Mas Gola Gong. Tahu
nggak siy, yang nulis narasi itu, aku…
Oooow…hihihi.
Sepulang
workshop tumbuh niat menulis. Dan memang aku semakin rajin nulis di sela
kesibukan. Aku ke manakan, karyaku? Selalu dan selalu tersimpan rapi di komputer.
Jangan ditiru!!!
Tahun
2007 bisnis yang pernah menerbangkan aku ke awan; menikmati keindahan surga
dunia hingga kadang lupa cara menjejak tanah, tiba-tiba terjungkal. Aku
terpelanting menyisakan derita lahir batin. Kami sekeluarga terpaksa meninggalkan
Pulau Bali dan memulai hidup baru di kota kecil di Jawa Timur. Satu setengah
tahun kemudian takdir membawa tapak kakiku menginjak bumi lancang kuning,
Pekanbaru.
Di
Pekanbaru aku memiliki banyak waktu untuk membaca dan menulis. Suatu ketika aku
melihat pengumuman lomba menulis kisah
inspiratif di facebook. Aku
tergerak mengikutinya. Hari itu juga kubuat daftar peristiwa pahit yang pernah
kualami. Kupilih kisah suka duka menghadapi masa-masa sulit di Bali untuk
kuikutkan dalam kompetisi kisah inpiratif. Aku menulisnya begitu saja. Apa yang
kurasakan, itu yang kutulis. Naskah kukirim seminggu sebelum masa deadline. Setelah itu aku lebih asyik
bernostalgia dengan teman-teman lama di dunia maya.
Pagi
saat sibuk nginem hehe, terdengar pesan masuk di gadget.
“Slm insprtf! Messge ini adlh
tindak knfirms Leutika mengenai msknya anda sbg 18 pmng lomba. Info lbh lnjt
bisa diklik fb Leutika.”
Alhamdulillah,
karyaku lolos! Tanganku bergetar menyalakan komputer, jari-jari beradu cepat
dengan detak jantung. Tak sabar ingin melihat namaku. Saat menatap halaman
pengumuman aku sengaja mencarinya dari bawah, namun tak kutemukan. Wah,
jangan-jangan keliru. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya mataku
tertumbuk sebuah nama di barisan atas. Masya Allah, nama itu berada di urutan
ketiga. Pemenang pertama dan kedua tak
asing lagi. Keduanya telah menelorkan banyak buku.
Kemenangan
ini membuka mata ternyata aku mampu bersaing. Aku mulai rajin berburu informasi
audisi menulis. Tak kupedulikan hadiah, kuikuti tawaran menulis dengan niat
untuk mengasah kemampuan menulis. Aku belajar membidik ide, mematuhi deadline, dan siap menghadapi kesuksesan
yang tertunda. Beberapa tulisanku lolos dan sebagian dikembalikan. Selain
mengirim naskah antologi, aku mencoba mengirim cerita anak. Dua kali mengirim
cernak ke majalah, dua kali lolos. Berlipat-lipat keyakinanku ternyata aku
mampu berkarya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5LoKMbB1AuoNNMxsFYu_NNgS5IL8LPNVhsHGdqpopFVQaayhvvQ7bAH1dUuEb0BFCg971kxKdzKlVKY_UNhueLM2W9Ku-MBMhm15TMzoCxoQleTM9xBrdIeggqNg1IPUA99_A5zpkNiY/s320/IMG02053-20110308-1458.jpg) |
Mencatat ide di mana pun termasuk saat nunggu penumpang ojek |
Sejak
itu buku teori menulis bertumpuk di lemari. Aku juga rajin mengikuti kelas
menulis berbayar. Aku sadar, semua itu tidak menjamin keberhasilanku tanpa
usaha memratikkannya. Aku beruntung berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan
menulis di antaranya; workshop menulis bacaan anak, kelas menulis pictbook,
kelas menulis naskah terjemahan, menulis skenario, kelas mengedit bersama
editor senior, dan lain-lain.
Sekali
lagi! Gemar melahap teori dan mengikuti workshop menulis tidak menjamin karya
seseorang diterima. Aku hampir putus asa ketika sejumlah naskah buku ditolak
penerbit. Bukankah aku sudah menerapkan teori menulis? Bukankah aku sudah tekun
mengikuti kelas-kelas menulis?
“Coba
kamu berhenti nulis sebentar,” saran sahabat.
“Tidak
bisa,” sanggahku, sebab aku mulai sulit berhenti nulis.
“Maksudku,
coba kamu baca lagi naskah-naskah tolakan itu lalu pelajari catatan editornya,”
Kalimat sahabat kali ini tidak kubantah.
Aku
sepakat. Kuamati tiap huruf dari tumpukan naskah tolakan, aku cermati catatan
redaksi.
Tulisan rapi, minim kesalahan tapi
konfliknya kurang tajam.
Bahasanya ringan, ceritanya
mengalir, tapi lama-lama membosankan.
Kenapa ya, saya belum menemukan
sesuatu yang, wow! Padahal di awal sudah enak dibaca, coba direvisi lagi.
Naskah ini sudah sering ditulis,
coba buat dari sudut pandang lain.
Diam-diam
aku setuju kalau naskahku pantas ditolak, dengan begini aku semakin rajin
berlatih. Pelan-pelan aku menerapkan saran para penulis yang sudah banyak
menghasilkan karya. Misalnya, ketika jenuh menulis cerpen aku mencoba mencipta
puisi, saat bosan merevisi naskah tolakan aku mengirim artikel. Tak kubiarkan diriku berhenti menulis.
Kini di usia ‘kepala’ empat, Alhamdulillah…
belasan antologi sudah di tangan. Alhamdulillah berhasil melahirkan buku solo
terbitan Kaki Langit Kencana dan Elexmedia. Alhamdulillah telah menulis
sejumlah scene untuk FTV anak dan telah tayang di TV stasiun swasta.
Seorang
teman pernah berujar seharusnya aku kirim naskah sejak dulu, dengan begitu
mungkin aku sudah memiliki karya solo segudang. Mungkiiiin….
“Ah,
aku menikmati dan mensyukuri setiap keadaan, menurutku tidak masalah memulai
niat baik di usia tak lagi muda ini.”
Kawanku
itu terdiam. Semula aku mengira kalimatku itu tak lain sebuah penghiburan diri.
Belakangan aku kerap mengulang kata-kataku itu untuk para sahabat yang baru
memulai berkarya di usia senja, seperti aku.
Dua tahun terakhir ini aku tidak menelurkan karya apapun namun tetap mencatat setiap ide yang terlintas. Dua tahun terakhir ini aku diberi kesempatan olehNya mencecap pahit getirnya kehidupan yang aku yakini ini sebuah bentuk kasih sayangNya padaku. Dua tahun terakhir ini aku lebih banyak belajar ilmu kehidupan yang mudah-mudahan suatu hari terwujud dalam sebuah karya. Aamiin.
Salam mulia dan bahagia