Selasa, 30 Mei 2017

Selembar Kain Dalam Nostalgia Tentara Jepang

...Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Reff: Lirik lagu Kolam Susu- Koes Plus)

Cuplikan lirik lagu di atas sesuai kondisi tanah air Indonesia yang subur, hasil bumi melimpah ruah, pemandangan alami yang indah memesona. Tidak heran jika negeri ini seolah sebagai tanah surga.

Bagaimana bukan tanah surga? Binatang ulat yang bagi sebagian orang sangat menjijikkan saja ternyata setelah melalui proses panjang akan bernilai jual tinggi. Tentu bukan sembarang ulat. Ulat berwarna warni pada umumnya akan menjelma kupu-kupu cantik. Sementara si ulat sutra akan menghasilan kokon atau kepompong ulat sutra di masa bertapanya. Kokon yang terkumpul siap dipintal menjadi bahan baku kain sutra.

Kokon (Kepompong Ulat Sutra)
 Sumber Foto: dokumen koran Kontan, 17 November 2012

 Kepompong dari ulat pemakan daun murbei ini menghasilkan serat sutra yang kemudian dipintal dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) menjadi kain sutra. Mengingat prosesnya yang demikian panjang; yakni mulai budidaya ulat sutra, pemintalan serat sutra, hingga menjadi kain sutra maka tidak mengherankan jika nilai jual kain ini tergolong mahal. Meskipun mahal, salah satu jenis kain khas nusantara ini tetap diminati. Coraknya yang beraneka ragam nan menawan, kain sutra kerap dijadikan cinderamata.

Serat Sutra dipintal dengan ATBM



  Sumber Foto: dokumen koran Kontan, 17 November 2012

Sementara itu, keahlian seseorang dalam memintal serat sutra menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) diperoleh secara turun temurun sejak jaman pendudukan Jepang di Tanah Air. Saat itu tentara Jepang mengakui bahwa kekuatan serat sutra setara dengan setengah kekuatan serat baja. Wow, lumayan kuat ya! Itu sebabnya tentara Jepang berani berinvestasi alat tenun bukan mesin. Rakyat Indonesia dipekerjakan untuk memintal serat sutra dan hasil kain sutra untuk parasut pasukan penerjun payung pada zaman itu. Waaa, tidak mengira ya. Si ulat sutra selain menghasilkan kain-kain cantik khas nusantara ternyata mampu menciptakan parasut untuk pasukan terjun payung di zaman kependudukan Jepang.

Kain sutra berbagai corak
 Sumber Foto: dokumen koran Kontan, 17 November 2012

Rasanya, semakin bersyukur dan cinta pada Ibu Pertiwi ini. Semoga kain nusantara yang menjadi ciri khas negeri ini, yang telah tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan kekhasannya masing-masing, mampu menumbuhkan rasa syukur dan cinta damai di antara penghuni 'tanah syurga' ini. Aamiin.

Yuk ikutan juga menulis kain nusantara sobatku: Mbak Enny Chandra, Mbak Evi Z. Indrian dan Mbak Novita Oci.

#SAHABATGOLD
#KisahIstimewaSAHABAT
#PesonaIndonesia


























Tuwir-Tuwir Punya Karya



Senja berbalut jingga,
Cahaya keemasan menerobos asap teh
Menyisakan lengkung senyum di beranda
Berhias kepak burung berarak
Celoteh bocah digiring pulang

Sore yang genit,
Duduk wanita beruban memilin imaji
Menyulam kata mengasah makna
Itulah aku!
:Yang berkarya di usia senja
 
Alhamdulillah. Semoga istiqamah menebar manfaat.
            Sejak berseragam merah putih aku suka membaca. Bacaanku waktu itu kebanyakan buku perpustakaan SD. Berhubung jumlahnya terbatas, beberapa buku kubaca hingga tiga kali, sampai hapal titik komanya. Pernah suatu hari aku membaca cerita seru. Namun, ujung halaman majalah anak itu sobek. Aku tak menemukan endingnya. Perasaan rasa ingin tahu dan kecewa beraduk, sejak itu aku gemar menulis cerita-cerita singkat.
            Setiap hari aku menulis puisi di buku tulis lusuh. Saat berantem dengan teman, kutulis kejadian lengkap dengan cacian dan tanda seru yang membuatku puas meskipun tak harus membalas. Ketika mendapat hukuman di sekolah kuciptakan bait-bait jengkel berujung tawa, dengan begitu tak kusimpan dendam. Dan, saat pertama kali menerima surat merah jambu dari kakak kelas, kubalas rayuan gombal itu dengan puisi nasihat, “Lebih baik kita bersahabat”. Gaya, ya! Hahaha…
            Kebiasaan mencipta puisi ini berlanjut di bangku SMP. Aku kerap dapat order nulis puisi untuk nembak cewek atau cowok pujaan. Cinta monyet bermodal puisi ini sangat ngetop di era 80-an (mulai ketauan tuwirnya). Tidak ada honor nulis waktu itu. Aku cukup puas dengan makan gratis di kantin sekolah. Kumpulan puisi semakin menggunung, namun entah belum ada niat mengirimkannya ke media.
Saat berseragam abu-abu putih, aku mencoba kirim cerita pendek ke majalah remaja. Suatu hari saat pelajaran berlangsung, tiba-tiba aku dipanggil ke ruang Bimbingan Penyuluhan (sekarang ruang BK). Sepanjang lorong aku menduga-duga apa salahku. Ruang BP identik dengan anak bermasalah. Aku tak punya masalah! Aku merasa tidak aneh-aneh dan tak pernah dihukum sebab sebuah pelanggaran.
Perlahan kumasuki ruang lengang. Bunyi jarum jam di dinding seperti mengajak berlomba. Aku tak mau mundur sebab merasa tidak bersalah.


“Benar ini, kamu?” Nama yang amat kukenal terpampang cantik di bawah judul cerita.
Oh, jadi ini masalahnya. Dua bulan lalu aku mengirim cerpen ke sebuah majalah. Aku menulis alamat sekolah karena kupikir agak susah menjangkau alamat rumah di kampung. Benar saja. Ketika cerpen itu dimuat, pihak sekolah kelimpungan mencari tahu nama asliku sebab aku mencantumkan nama pena, tanpa menulis nama asliku. Ini menjadi pelajaran penting namun sayangnya tak menjadikan diriku rajin mengirim naskah. Aku terlalu asyik  mengumpulkan karya lalu menjadikannya dokumentasi pribadi.
Menulis puisi, cerita pendek, cerita bersambung terus berlangsung. Saat aku diterima bekerja sebagai sekretaris pimpinan redaksi di sebuah koran lokal di Denpasar, seorang laki-laki berwibawa menanyai bacaan kesukaanku. Kami mengobrol lama hingga di ujung pertemuan hangat itu baru tersadar ternyata beliau bang Adek Alwi; cerpenis senior yang karyanya kerap kunikmati di Majalah Anita, waktu itu.  Sungguh tersanjung! Ternyata aku sekantor dengan Bang Adek Alwi terlebih di hari-hari berikutnya aku juga menjadi sekretarisnya, selain menjadi sekretaris Bang Arie Batubara.
Kedekatanku dengan para penulis ternama tidak menjadikan aku rajin mengirim karya. Aku masih nulis dan sekali lagi, aku cukup puas dengan menyimpannya di tumpukan folder pribadi. Kebiasaan ini terus berlangsung  sampai aku pindah bekerja di bank swasta. Masih sebagai sekretaris Pimpinan Cabang. Di sini pun aku pernah diminta menulis puisi oleh salah seorang rekan kerja.
“Makasih ya, pusingku ilang tiap baca pusimu,” ungkap rekan kerjaku itu.
Dalam hati,  itulah yang kulakukan selama ini. Puisi menjadi sarana ‘membuang’ masalah. 
Sejak memiliki buah hati aku memutuskan menjadi ibu rumah tangga total. Kesibukan merawat anak dan memulai bisnis sempat menjauhkanku dari dunia menulis, namun membaca tetap menjadi menu harian.
Pertengahan 2005 aku dihubungi ketua FLP Bali, Mas Hanafi waktu itu, yang akan mengadakan workshop menulis artikel, cerpen, dan novel. Saat itu usaha laundry yang kami rintis tengah berkibar dan kedatangan Mas Hanafi untuk meminta kami menjadi salah satu sponsor. Deal! Aku berkesempatan mengikuti acaranya.
Peserta workshop di Denpasar rata-rata masih muda. Aku tercatat sebagai peserta paling tua, tapi pedeh ajah, hahaha. Selama mengikuti workshop itu aku dua kali terima hadiah. Pertama,  dapat termos unik sebab outline artikel berjudul  Pengaruh Bom pada Masyarakat Bali dinyatakan lolos dan siap dikembangkan. Kedua, buku novel gratis untuk kelompokku karena narasi drama dinyatakan paling bagus oleh Mas Gola Gong. Tahu nggak siy,  yang nulis narasi itu, aku… Oooow…hihihi.
Sepulang workshop tumbuh niat menulis. Dan memang aku semakin rajin nulis di sela kesibukan. Aku ke manakan, karyaku? Selalu dan selalu tersimpan rapi di komputer. Jangan ditiru!!!
Tahun 2007 bisnis yang pernah menerbangkan aku ke awan; menikmati keindahan surga dunia hingga kadang lupa cara menjejak tanah, tiba-tiba terjungkal. Aku terpelanting menyisakan derita lahir batin. Kami sekeluarga terpaksa meninggalkan Pulau Bali dan memulai hidup baru di kota kecil di Jawa Timur. Satu setengah tahun kemudian takdir membawa tapak kakiku menginjak bumi lancang kuning, Pekanbaru.
Di Pekanbaru aku memiliki banyak waktu untuk membaca dan menulis. Suatu ketika aku melihat pengumuman lomba menulis kisah  inspiratif di facebook. Aku tergerak mengikutinya. Hari itu juga kubuat daftar peristiwa pahit yang pernah kualami. Kupilih kisah suka duka menghadapi masa-masa sulit di Bali untuk kuikutkan dalam kompetisi kisah inpiratif. Aku menulisnya begitu saja. Apa yang kurasakan, itu yang kutulis. Naskah kukirim seminggu sebelum masa deadline. Setelah itu aku lebih asyik bernostalgia dengan teman-teman lama di dunia maya.
Pagi saat sibuk nginem hehe, terdengar pesan masuk di gadget.
“Slm insprtf! Messge ini adlh tindak knfirms Leutika mengenai msknya anda sbg 18 pmng lomba. Info lbh lnjt bisa diklik fb Leutika.”
Alhamdulillah, karyaku lolos! Tanganku bergetar menyalakan komputer, jari-jari beradu cepat dengan detak jantung. Tak sabar ingin melihat namaku. Saat menatap halaman pengumuman aku sengaja mencarinya dari bawah, namun tak kutemukan. Wah, jangan-jangan keliru. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya mataku tertumbuk sebuah nama di barisan atas. Masya Allah, nama itu berada di urutan ketiga. Pemenang pertama dan  kedua tak asing lagi. Keduanya telah menelorkan banyak buku.
Kemenangan ini membuka mata ternyata aku mampu bersaing. Aku mulai rajin berburu informasi audisi menulis. Tak kupedulikan hadiah, kuikuti tawaran menulis dengan niat untuk mengasah kemampuan menulis. Aku belajar membidik ide, mematuhi deadline, dan siap menghadapi kesuksesan yang tertunda. Beberapa tulisanku lolos dan sebagian dikembalikan. Selain mengirim naskah antologi, aku mencoba mengirim cerita anak. Dua kali mengirim cernak ke majalah, dua kali lolos. Berlipat-lipat keyakinanku ternyata aku mampu berkarya.

Mencatat ide di mana pun termasuk saat nunggu penumpang ojek

Sejak itu buku teori menulis bertumpuk di lemari. Aku juga rajin mengikuti kelas menulis berbayar. Aku sadar, semua itu tidak menjamin keberhasilanku tanpa usaha memratikkannya. Aku beruntung berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan menulis di antaranya; workshop menulis bacaan anak, kelas menulis pictbook, kelas menulis naskah terjemahan, menulis skenario, kelas mengedit bersama editor senior, dan lain-lain.
Sekali lagi! Gemar melahap teori dan mengikuti workshop menulis tidak menjamin karya seseorang diterima. Aku hampir putus asa ketika sejumlah naskah buku ditolak penerbit. Bukankah aku sudah menerapkan teori menulis? Bukankah aku sudah tekun mengikuti kelas-kelas menulis?
“Coba kamu berhenti nulis sebentar,” saran sahabat.
“Tidak bisa,” sanggahku, sebab aku mulai sulit berhenti nulis.
“Maksudku, coba kamu baca lagi naskah-naskah tolakan itu lalu pelajari catatan editornya,” Kalimat sahabat kali ini tidak kubantah.
Aku sepakat. Kuamati tiap huruf dari tumpukan naskah tolakan, aku cermati catatan redaksi.
Tulisan rapi, minim kesalahan tapi konfliknya kurang tajam.
Bahasanya ringan, ceritanya mengalir, tapi lama-lama membosankan.
Kenapa ya, saya belum menemukan sesuatu yang, wow! Padahal di awal sudah enak dibaca, coba direvisi lagi.
Naskah ini sudah sering ditulis, coba buat dari sudut pandang lain.
Diam-diam aku setuju kalau naskahku pantas ditolak, dengan begini aku semakin rajin berlatih. Pelan-pelan aku menerapkan saran para penulis yang sudah banyak menghasilkan karya. Misalnya, ketika jenuh menulis cerpen aku mencoba mencipta puisi, saat bosan merevisi naskah tolakan aku mengirim artikel. Tak  kubiarkan diriku berhenti menulis.
 Kini di usia ‘kepala’ empat, Alhamdulillah… belasan antologi sudah di tangan. Alhamdulillah berhasil melahirkan buku solo terbitan Kaki Langit Kencana dan Elexmedia. Alhamdulillah telah menulis sejumlah scene untuk FTV anak dan telah tayang di TV stasiun swasta.
Seorang teman pernah berujar seharusnya aku kirim naskah sejak dulu, dengan begitu mungkin aku sudah memiliki karya solo segudang. Mungkiiiin….
“Ah, aku menikmati dan mensyukuri setiap keadaan, menurutku tidak masalah memulai niat baik di usia tak lagi muda ini.”
Kawanku itu terdiam. Semula aku mengira kalimatku itu tak lain sebuah penghiburan diri. Belakangan aku kerap mengulang kata-kataku itu untuk para sahabat yang baru memulai berkarya di usia senja, seperti aku.  
Dua tahun terakhir ini aku tidak menelurkan karya apapun namun tetap mencatat setiap ide yang terlintas. Dua tahun terakhir ini aku diberi kesempatan olehNya mencecap pahit getirnya kehidupan yang aku yakini ini sebuah bentuk kasih sayangNya padaku. Dua tahun terakhir ini aku lebih banyak belajar ilmu kehidupan yang mudah-mudahan suatu hari terwujud dalam sebuah karya. Aamiin.

Salam mulia dan bahagia

Cokelat Karakter

Alhamdulillah, sekarang hari ke-4 bulan puasa ya. Semoga tetap lancar dan semakin berkah. Biasanya awal Ramadhan gini masih anteng soal kue-kue lebaran. Berbeda jelang hari Lebaran nanti. Semua sibuk menyiapkan kue atau masakan di hari Idul Fitri. Nah supaya di akhir Ramadhan kita lebih khusuk beribadah, berharap mendapat malam seribu bulan, gimana kalo minggu ini kita nyicil bikin handmade chocolate.



Yuk siapkan bahan dan alatnya.

Cokelat batangan warna warni


BAHAN:
- Cokelat batangan jenis compound
- Bahan isian sesuai selera (kacang mede, almond, kismis, kurma dll)

CTT:
Saya biasa melelehkan cokelat dengan proses tim biasa (manual). Kalo teman-teman punya alat khusus untuk melelehkan cokelat, itu lebih bagus.

Untuk cokelat compound pilih jenis dark chocolate (warna cokelat gelap, rasa urang manis), milk chocolate (warna cokelat, rasa manis susu), white chocolate (warna putih, rasa manis sekali).

ALAT:
- Mangkuk stainless atau gelas keramik
- Sendok
- Panci lebar untuk mengetim cokelat
- Plastik segitiga
- Cetakan cokelat
- Plastik atau kertas untuk wrapping
- Freezer
- Wadah untuk menaruh cokelat keluar dari cetakan
- Toples atau box sekat untuk mengemas

Cetakan bahan plastik

Cetakan bahan mould



CARA MEMBUAT HAND MADE CHOCOLATE SECARA UMUM:

1. Potong-potong cokelat batangan untuk memudahkan proses pelelehan cokelat, lalu taruh di wadah stainless atau keramik. Hindari bahan kaca terutama jika wadah tersebut sering dipakai untuk menuang menuang minuman dingin.

2. Tim cokelat di atas kompor. Isi panci dengan air secukupnya lalu taruh di atas kompor, api kecil. Taruh cokelat yang sudah ditaruh dalam wadah stainless/keramik di atas panci. Sekali ngetim bisa langsung beberapa cokelat dan yang wajib ditim adalah cokelat jenis dark chocolate karena cokelat jenis ini sebagai dasar atau penopang supaya cokelat kuat.

3. Setelah cokelat meleleh sempurna, siapkan cetakan, tunggu agak dingin tapi jangan dingin banget ntar cokelat keburu beku. Masukkan cokelat ke plastik segitiga, gunting ujung plastik, lalu masukkan ke dalam cetakan.

Cokelat yang sudah meleleh sempurna siap dicetak

4. Masukkan cokelat ke bagian paling cekung/dalam. Awal-awal mencetak mungkin masih belepotan, gak pa pa. Selesaikan hingga cetakan telah terisi cokelat pertama. Lanjutkan masukkan cokelat lainnya.

5. Jika ada isian, masukkan isian sebelum isi cetakan terisi penuh. Jadi, setelah diisi cokelat pertama, cokelat kedua, ketiga, masukkan isian. Terakhir, isi cetakan dengan jenis dark chocolate supaya kuat (setelah dikeluarkan dari cetakan, posisi dark chocolate ini paling bawah atau sebagai dasar).

Mencetak cokelat

6. Masukkan cokelat yang sudah dicetak dalam freezer kurang lebih 10 menit. Sambil nunggu cokelat jadi, bisa dilanjut mengetim cokelat.

7. Keluarkan cokelat dari freezer lalu keluarkan dari cetakan. Siapkan wadah untuk menaruh cokelat.

8. Cokelat siap dibungkus/diwrapping dengan plastik atau kertas cokelat lalu dikemas sesuai selera.




Selamat berkreasi membuat cokelat lebaran yaaa. Sekali lagi, tetap semangat jika hasil cokelat masih belepotan. Bentuk belum sesuai harapan, rasa tetap nikmat :)

Salam sehat bermanfaat.