Jumat, 29 September 2017

Dulu Dibenci Sekarang Dicari



“Mulai hari ini, Bunda pilih naik kereta api sajalah ke mana-mana, nyaman ternyata. Anti macet, bisa istirahat cukup, dan bisa jalan-jalan kalau badan pegal, hahaha…”

Begitulah kurang lebih kalimat yang saya sampaikan pada anak-anak sepulang perjalanan luar kota. Sebenarnya ini bukan perjalanan pertama naik kereta, sebab di usia kurang lebih lima tahun saya pernah naik kereta dari kota kecil Ngawi ke Jakarta. Namun tidak banyak yang bisa saya kenang di usia balita itu. Saya bisa mengingat hamparan sawah, rumah-rumah penduduk, serta ramainya lalu lintas di luar jendela kaca kereta api, sementara di gerbong kereta saya bisa tiduran sambil memegang botol susu, kala itu.

Sumber Foto: Dokumen pribadi. Kebersihan terjaga di hampir semua stasiun pemberhentian.

 Ada lekat yang menempel di ingatan hingga kini, yakni riuh pedagang sepanjang lorong gerpong, belum lagi jika ada penumpang di ujung depan memanggil pedagang di belakang atau pun sebaliknya. Berisik! Bertambah bising jika para penumpang kompak mengeluh kepanasan di dalam kereta. Sekeping pengalaman kurang menyenangkan dalam kereta ekonomi, di masa kecil itu, ternyata memberi dampak tersendiri bagi saya tentang perjalanan kereta. Naik kereta api jarak jauh itu tidak nyaman, kalimat ini rupanya berdiam lama di alam pikiran saya.

Sejak itu saya enggan naik kereta api. Saya lebih memilih kendaraan umum walaupun sebenarnya naik bus atau mini bus sama berisiknya dengan kereta api jaman kecil dulu. Entah mengapa ada saja rasa gamang jika akan naik kereta api. Bertambah khawatir dan berujung ketakutan  setiap teringat peristiwa luar biasa hebat yang memakan banyak korban beberapa waktu silam. Menurut sumber informasi di fan page kereta api kita, per Agustus 2017 tercatat 266 kecelakaan lalu lintas di pelintasan sebidang. Sementara itu data jumlah penumpang kereta api selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sumber data di Badan Pusat Statistik mencatat terjadi kenaikan jumlah penumpang dari tahun ke tahun. Artinya, tanggung jawab PT Kereta Api Indonesia terhadap keselamatan jiwa para penumpang kereta jauh lebih berat.

Namun rupanya segala bentuk ketakutan naik kereta itu mendadak lenyap oleh sebuah perjalanan dari Jakarta ke Blitar beberapa waktu silam. Ini pun berawal dari “keterpaksaan”. Saya dijadwalkan harus mengisi acara siang hari di Blitar. Jika naik pesawat dari Jakarta turun Surabaya atau Malang, saya masih harus melanjutkan perjalanan darat ke Blitar. Sementara hari berikutnya di jam yang sama sudah harus berada di Jogjakarta. Belum-belum saya sudah membayangkan lelahnya dalam kemacetan dan kurangnya istirahat. Akhirnya saya memutuskan naik kereta.

  Kemudahan Fasilitas
Tiket kereta saya dapatkan dari membeli tiket online di sebuah swalayan yang sudah bekerja sama dangan PT Kereta Api Indonesia. Cukup menyampaikan kota tujuan  pada karyawan swalayan maka munculah sederet nama kereta beserta waktu keberangkatan. Saya menyebut salah satu nama kereta ekonomi,  lalu karyawan meminta data kartu identitas serta nomor telepon saya yang bisa dihubungi, maka sebentar saja saya sudah memegang bukti pembayaran tiket kereta. Semudah ini proses membeli tiket kereta, batin saya heran.

Kereta api yang saya naiki berangkat dari stasiun Pasar Senen pukul 12.00 wib. Saya ikut mengantri pemeriksaan tiket. Saat menyodorkan selembar kertas pada petugas di stasiun, saya diminta mencetak tiket terlebih dahulu. Owh, jadi tiket sementara dari swalayan harus dicetak dulu. Baiklah. Seorang petugas keamanan stasiun memberi arahan tempat cetak tiket. Setengah berlari saya menuju tempat itu. Sampai di lokasi cetak tiket, saya celingukan. Ini bagaimana mencetaknya. Lagi-lagi seorang petugas di stasiun membimbing hingga saya bisa mencetak sendiri tiket. Alhamdulillah lancar. Ini benar-benar pengalaman baru, saya belum pernah melakukan perjalanan kereta sebelumnya, belum pernah melakukan proses pembelian tiket kereta itu seperti apa. Kemudahan fasilitas dan keramahan petugas di stasiun melancarkan urusan.

Setibanya di dalam gerbong dan menemukan tempat duduk, saya serupa anak kecil yang melihat mainan baru. Benar-benar baru! Setiap sisi kereta saya amati satu-persatu. Ruangan gerbong cukup bersih. Barang bawaan penumpang berjajar rapi di atas tempat barang. Penumpang duduk tertata di tempatnya, tak ada yang mencoba menggelar tikar di bawah kursi atau tiduran di lorong sehingga menyusahkan siapa pun yang melewatinya. Tak tampak satu pun pengamen atau pedagang dalam kereta kecuali pegawai yang menawarkan makanan, minuman, atau sewa bantal. Udara di dalam kereta cukup sejuk, tak ada suara berteriak kepanasan. Seperti bumi dan langit jika saya sandingkan dengan kenangan berkereta di masa lampau.
 
Sumber: Dokumen pribadi. Kebersihan dan keamanan stasiun Semarang Tawang yang selalu terjaga.
Pengalaman berkereta ke Blitar itu mendorong perjalanan kereta berikutnya dan saya mulai menikmatinya. Pernah saya harus ke Ngawi untuk sebuah urusan. Saya kembali memilih naik kereta. Dari Jakarta sore, sampai di Ngawi dini hari. Seharian menyelesaikan urusan, malamnya pukul 24.00 wib kembali bertolak ke Jakarta naik kereta. Begitu pula saat harus ke Blitar lagi. Berangkat dari Jakarta petang, sampai di Blitar pagi hari. Siangnya bertemu dengan sejumlah relasi. Petang di hari yang sama, melanjutkan perjalanan kereta ke Jogjakarta. Tiba di Jogjakarta jelang pagi, siang menjalankan agenda, malamnya kembali ke Jakarta. Sepanjang perjalanan saya bisa istirahat nyaman di dalam kereta executive.


Semakin Nyaman
Saat melakukan perjalanan kereta pertengahan bulan Agustus 2017 dari Semarang ke Jakarta, saya sempat ragu saat sudah berada di pintu gerbong. Biasanya duduknya per area, kenapa sekarang sebagian ‘duduk maju’ dan sebagian ‘duduk mundur’?
“Betul, ini kereta tujuan Jakarta yang Ibu maksud,” terang petugas saat saya memastikan.
Saya kembali mengamati setiap sudut. Ini bukan kali pertama naik kereta yang sama, namun sebagian interior memang telah berubah; tersedianya tempat minum khusus di depan masing-masing kursi penumpang, tirai jendela yang bisa ditutup atau dibuka sesuai keinginan penumpang, serta tayangan visual yang lebih bisa dinikmati. Dan, ada satu kenyamanan lagi, yaitu, tiadanya pemeriksaan tiket manual di atas kereta. Entah mengapa sejak awal naik kereta, saya kurang nyaman jika petugas mulai memeriksa tiket penumpang satu persatu di atas kereta. Apakah tidak ada cara pemeriksaan tiket lebih efisien sehingga penumpang lebih nyaman? Begitulah kira-kira pertanyaan dalam hati saat itu dan  sekarang telah terjawab. Tak ada lagi pemeriksaan tiket yang mengharuskan tiap penumpang menunjukkan tiketnya di atas kereta. Wow! Semakin jatuh cinta pada perjalanan kereta.

Penumpang Setia Kereta
Kesetiaan naik kereta ini bukan hanya saat perjalanan luar kota. Ketika ada kepentingan di wilayah Jabodetabek pun, saya lebih memilih naik commuter line. Dahulu sebelum mengetahui jadwal kepadatan commuter line, saya kerap tergencet di antara penumpang. Guna menghindari desakan penumpang commuter line yang kadang cukup memprihatinkan, saya kerap memilih menghindari jam-jam padat, yaitu saat berangkat atau pulang kerja karyawan.

Sumber Foto: Dokumen pribadi. Lengang. Saya sering menghindari jam-jam padat commuterline

Seperti halnya kereta api jarak jauh, saya juga merasakan kenyamanan di commuter line. Udara sejuk, lantai bersih, serta petugas keamanan yang selalu siap membantu penumpang. Biasanya saat penumpang kebingungan menentukan kereta jurusan berikutnya, maka si petugas akan membantu menjelaskan detail. Sebuah pengalaman tak terlupa ketika suatu hari saya pulang dari sebuah keperluan. Saat itu berada di stasiun Manggarai hendak ke Serpong. Malam sudah larut. Saya menunggu commuter line ke arah Tanah Abang. Terlalu lama menunggu hingga muncul kekhawatiran bagaimana jika commuter line terakhir dari stasiun Tanah Abang ke Serpong sudah berangkat? Segera saya menghubungi petugas di stasiun Manggarai dan menyampaikan masalah. Benar saja! Commuter line terakhir dari stasiun Tanah Abang ke Serpong sebentar lagi berangkat. 

“Selamat malam. Tolong tunda keberangkatan ke Serpong, ini masih ada penumpang tertunda di Manggarai, sepuluh menit lagi krl datang. Bagaimana, jelas?” ucap si Bapak berseragam putih biru.
“Siap. Bisa diterima,” kurang lebih seperti itu suara yang bisa saya tangkap.
Lega rasanya. Saya langsung mengucapkan terima kasih dan buru-buru kembali ke peron.

 Kereta Api Masa Depan
Di setiap menempuh perjalanan kereta api, ada semacam angan-angan yang menggelitik. Setiap melakukan perjalanan kereta saya selalu membawa bacaan. Majalah atau buku itu saya nikmati jika tak ingin tidur di perjalanan. Hanya kadang-kadang kenikmatan membaca itu terusik oleh teriakan atau tangisan anak kecil yang sulit berhenti sepanjang perjalanan. Saya lalu membayangkan betapa nikmatnya seandainya tersedia gerbong perpustakaan mini selain gerbong restorasi di dalam kereta. Saya dan penumpang lain yang terganggu suara histeris anak-anak bisa berpindah ke gerbong perpuskaan. Anak-anak yang rewel pun barangkali bisa terhibur dengan menikmati bacaan di gerbong perpustakaan

Jika PT KAI berhasil melengkapi fasilitas perpustakaan atau rail library pada generasi terbaru rail clinic maka mudah-mudahan suatu saat tersedia juga sebuah perpustakaan nyaman di gerbong kereta.

Saya membayangkan betapa semakin nyaman perjalanan jika saya bisa melahap buku sepanjang perjalanan. Bahkan, sebagai seorang yang menyukai dunia membaca dan menulis, saya berangan-angan suatu hari bisa menjembatani antara PT KAI dengan Penerbit buku dalam hal pengadaan buku untuk perpustakaan di gerbong kereta.

Ilustrasi Gambar: Alindi. Semoga suatu hari ada perpustakaan di gerbong kereta.

Hari ini saya kembali duduk di atas kereta untuk menempuh perjalanan ke luar kota. Saya tersenyum. Perasaan kesal saat berkereta puluhan tahun silam itu kini berubah menjadi sebuah keriangan tersendiri setiap kali memasuki pintu gerbong kereta. Ada perasaan bangga mengalir yang sulit diceritakan, serupa perasaan seorang Ibu yang menyaksikan keberhasilan putra-putrinya dalam mewujudkan cita-citanya setelah sekian waktu berjuang. 

Saya telah membuktikan bahwa kinerja PT Kereta Api Indonesia semakin baik dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan jika akhirnya tahun ini PT KAI berhasil meraih dua penghargaan, yakni Juara Dua Kategori Tata Kelola Terbaik dan Juara Satu Kategori Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Terbaik. Semoga kinerja PT KAI akan terus membaik dan mampu menjawab harapan seluruh masyarakat Indonesia. Harapan kami semoga  PT KAI terus memperbaiki semua unit dan meningkatkan upaya keamanan serta keselamatan sehingga semakin berkurang angka kecelakaan kereta api di Indonesia. Selamat Hari Kereta Api yang ke-72.


Serpong, 19 September 2017

Santienuur Kaf
Penulis Lepas
Ig: shainakaf

Ctt: Tulisan ini sedang diikutsertakan dalam lomba menulis artikel yang diadakan PT KAI.



Senin, 25 September 2017

Hadiah Allah



Gerimis akhir September sore ini menyeret anganku ke masa silam…
Dulu sekali, aku pernah punya kegiatan segambreng. Berenang, senam, dan kadang-kadang menari. Semasa kuliah, aku sering diajak teman ke masjid kampus mengikuti pengajian rutin. Setiap di masjid, aku selalu sibuk mengatur cara duduk. Aku belum berpakaian sebagaimana muslimah lainnya yang memakai hijab. Setiap kali mengikuti kajian rutin di masjid, buru-buru aku mencari mukena untuk menutup tubuh bagian bawah. Duh, malu sekali waktu itu.
Suatu Malam…
            Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan aku mencari sesuatu. Sesuatu itu akhirnya menghampiriku, di malam yang hening, tepat di usiaku yang ke-20. Alhamdulillah Ya Allah. Teman-teman sempat bengong melihat penampilan baruku. Ada yang histeris memeluk dan menumpahkan air mata syukur. Ada yang memandang tidak suka entah sebab apa. Ada yang terang-terangan mencibir dan berani bertaruh, umur kerudungku hanya seumur jagung. Ada yang mencoba merontokkan niat hijrahku dengan mengingatkan sederet jadwal renang dan senam.
Saat itu pakaian renang atau senam untuk pemakai hijab belum seperti sekarang ini; yang tetap bisa berenang dengan pakaian renang syar’i. Ini berarti ketika aku telah memutuskan berhijrah meninggalkan pakaian lama, maka berhenti pula kegiatan berenang, senam, serta menari. Tidak masalah! Aku ingin menjadi wanita salihah.
Bersama buah hati. Semoga istiqamah dalam niat memperbaiki diri.
Sambutan teman-teman akan penampilan baruku belumlah usai. Aku menerima segebok surat kaleng. Sayang banget kakimu sekarang kau balut kain panjang. Sialan! Aku tuch paling suka ngintip kamu renang. Boddy cakep kok ditutup, dasar sok alim! Astaghfirullah. Surat-surat itu semakin membuka mataku, betapa banyak dosa yang telah kuhimpun jika aku tidak segera berhijrah.
Akhirnya, rangkaian teror dalam surat kaleng itu justru menguatkan niat; Bismillah Ya Allah, aku berniat berhijab untuk mencari ridhaMu, tolonglah aku menghadapi semua tantangan berhijrah ini, tiada hal sulit jika Engkau menghendakinya mudah, aamiin. Sejak itu ke mana pun pergi aku berhijab.
Hadiah…
Dua hari setelah wisuda di sebuah program diploma di kota Malang, aku membaca sebuah lowongan pekerjaan di luar kota. Lowongan itu sesuai jurusan saat kuliah. Aku mencoba melamarnya dan dua minggu kemudian aku mendapat panggilan interview, berlanjut sederet tes tulis. Satu bulan setelah proses seleksi tersebut, aku kembali menerima panggilan.
Namun, betapa aku terpana saat berada di lokasi. Di antara lima pelamar kerja yang semua wanita, hanya aku yang berhijab. Allah, jika Engkau takdirkan aku menjemput rezeki di sini, tiada yang tidak mungkin.
Semua pelamar meninggalkan ruangan dengan wajah sumringah. Sepertinya mereka lancar melewati panggilan terakhir ini. Aku ikut senang.
Giliranku melewati proses wawancara.
“Kenapa pakai kerudung?” tanya Kepala Bagian Personalia.
Aku menjelaskan alasanku dengan yakin, bahkan aku berani mencomot sepenggal firman Allah SWT tentang kewajiban menutup aurat bagi seorang muslimah.
Bapak Kepala Bagian Personalia itu tersenyum. “Seandainya kamu diterima di perusahaan ini tetapi harus melepas kerudung, bagaimana?”
Aku terdiam sejenak.
“Maaf Pak, sejak memakai kerudung saya bertekad tidak ingin melepasnya. Kalau memang ini keputusan perusahaan untuk tidak menerima karyawati berkerudung, saya memilih mencari pekerjaan di tempat lain.”
Senyum Bapak berkaca mata itu mengembang. Senyum yang tak kumengerti maknanya. Tepat satu bulan kemudian, datang keputusan dari langit bahwa aku diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional. Alhamdulillah. Sebuah kenyataan yang awalnya sulit kupercaya. Baru saja diwisuda, langsung diterima kerja, di saat teman lainnya masih sibuk mencari-cari lowongan. Air mataku luruh saat melihat besarnya gaji yang akan kuterima. Niatku berhijab ingin memperbaiki diri, ingin meninggalkan keburukan-keburukan, namun Allah memberiku lebih. Walaupun banyak tantangan saat berniat menutup aurat, Alhamdulillah aku merasa jadi lebih baik dengan berhijrah. Semoga bisa menjadi hikmah, menjadi seorang muslimah inspiratif bagi kaumku khususnya untuk buah hatiku. Tak ada terlambat untuk sebuah niat baik.
Gerimis akhir September reda, namun kedua pipiku semakin basah oleh air mata syukur.

 Note: Kisah ini ditulis untuk mengikuti sebuah kompetisi blog saliha.id. Ikutan kirim yuk...