Sabtu, 20 Oktober 2018

Menulis Untuk Kebaikan


Kecil dulu pernah kecewa gara-gara bungkus kacang goreng. Jadi begini… Sejak berseragam rok merah putih saya senang membaca khususnya cerita anak. Saya sering menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Terbatasnya jumlah buku bacaan di perpustakaan SD di kampung tidak menciutkan niat membaca. Terkadang satu buku saya baca berulang-ulang sampai hapal letak titik komanya.


Karya bersama teman-teman yang sedang belajar menulis.
 
Suatu hari saya membeli kacang goreng yang dibungkus dengan kertas menyerupai kerucut. Sesampainya di rumah, saya pindahkan kacang goreng renyah di atas cawan supaya lebih mudah menyantapnya. Akan tetapi, saat mau membuang bungkusnya, mata tertegun melihat tulisan. Sebuah judul cerita anak. Saya baca tulisan di kertas kusut. Tentang seorang anak laki-laki yang dilarang ibunya mengupas mangga sendiri. Ketika ibunya pergi, si anak mengambil pisau dan cepat-cepat mengupas mangga. Baru saja mengupas, pisau tajam itu melukai jarinya. Saya tidak tahu akhir kisahnya, sebab kertas itu sobek bagian ujung bawah.

Sejak peristiwa itu saya sering berandai-andai. Bagaimana kalau jari bocah itu terluka parah? Bagaimana kalau tiba-tiba ada dewa penolong yang menutup luka jarinya? Seharusnya anak itu menurut ibunya. Seharusnya si ibu mengupas mangga sebelum pergi. Kalimat demi kalimat berkelindan di kepala. Saya ingin bisa menulis cerita. Saya mulai menulis puisi dan cerpen. Tapi, semua tulisan saya simpan. Beberapa teman sekolah yang mengetahui saya suka menulis, minta tolong dibuatkan . Tidak ada upah rupiah waktu itu hahaha. Saya cukup senang dengan diajak makan di kantin sekolah.

Kebiasaan menulis puisi dan cerpen itu berlangsung hingga saya lulus sebuah diploma negeri di kota Malang. Atas kehendak Allah, saya diterima di sebuah perusahaan penerbitan surat kabar. Saya seperti berada di tumpukan harta karun. Setiap hari membaca berbagai jenis tulisan dengan leluasa. Saya juga berkesempatan berguru pada rekan-rekan wartawan, redaktur, maupun pemimpin redaksi. Pada mereka saya menimba ilmu cara mencari ide, meramu elemen tulisan, serta menuangkannya ke karya utuh.

Tahun 2009 pertama kalinya saya mengenal facebook. Senang sekali bisa bertegur sapa di dunia maya dengan para penulis yang karyanya sering saya baca. Saya tidak canggung menyapa mereka dan bertanya dunia kepenulisan. Saya usir rasa malu, rambut mulai beruban tetap semangat mengejar ilmu.

Bersama teman-teman kontributor buku Detik Demi Detik

Suatu waktu saya mendapat informasi, sebuah penerbit nasional membuka audisi menulis kisah inspiratif. Saya semangat mengikutinya. Saya lupakan tentang kalah dan menang. Bagi saya, berani mengirim karya ke media adalah sebuah keberhasilan tersendiri. Saya kirim dan melupakannya.

Selang beberapa hari, saya dikagetkan oleh pesan singkat dari sebuah penerbit bahwa saya menjadi salah satu pemenang audisi menulis. Sama sekali tidak menyangka nama saya menduduki urutan ketiga. Pemenang pertama dan kedua adalah penulis yang karyanya betebaran di mana-mana. Saya percaya ini cara Allah memberi tahu bahwa saya mampu menulis.

Sejak itu saya semakin bersemangat mengasah ketrampilan menulis. Saya belajar teori menulis baik gratisan maupun berbayar. Belajar teori menulis dan praktik menulis di setiap kesempatan. Saya rajin ikut audisi menulis. Rajin mengirim karya ke media. Ternyata walaupun sudah mengantongi teori menulis, sudah sering mengirim karya, bukan jaminan naskah menang. Setiap naskah yang saya kirim, berakhir dengan kekalahan dan penolakan. Saya tidak pernah menyerah. Ada kalanya muncul perasaan sedih saat naskah ditolak, namun di detik yang sama, meluap perasaan bahagia sebab telah berhasil menyelesaikan tulisan dan mengirimnya.

Saya bersandar pada niat awal menulis. Bukankah saya menulis untuk mendapatkan ridhaNya? Untuk sebuah kebaikan yang terus mengalir. Saya ingin pesan kebaikan yang saya sisipkan di setiap karya menjadi abadi di relung hati pembaca. Tidak masalah kalah lomba, tidak mengapa tulisan ke media tiada berkabar. Sudah ada nilai kebaikan pada tulisan. Saya hanya perlu berjuang untuk bertemu nasib baik.

Penolakan demi penolakan menyulut semangat menulis. Saya tidak malu mencatat alamat majalah atau penerbit saat berkunjung ke toko buku. Saya juga tidak risih membeli majalah dan buku bekas di toko loak. Membaca kata demi kata di majalah atau buku yang sampulnya sobek, yang tiap lembarnya menguarkan bau khas kertas usang. Setiap hari bertekad menambah halaman tulisan dan mengirimkannya ke media.

Hingga suatu hari…berkat izin Allah, saya bertemu nasib baik. Nama saya muncul di sejumlah pengumuman lomba menulis dan media cetak nasional. Saya bersemangat menambah ilmu menulis novel dan skenario. Semakin berguru semakin tersadar betapa kurangnya ilmu. Alhamdulillah… belasan antologi, karya media cetak, buku anak, juga naskah skenario FTV di stasiun TV swasta adalah bukti, tiada usaha yang sia-sia. 

Berikut tips menulis sesuai pengalaman:

  • Berani memulai menulis

Setiap ada dorongan menulis, segeralah menulis. Jangan menunda. Apabila belum siap menulis utuh, catatlah ide tulisan dan poin-poin yang akan ditulis. Setelah itu berusaha bisa menulis setiap hari walaupun satu halaman. Walaupun satu paragraf.


  • Tahan banting

Semua penulis ingin karyanya selalu menang lomba atau lolos seleksi sebuah media. Banyak penulis siap naskahnya disetujui penerbit walaupun harus direvisi, tapi sedikit yang tidak siap pada penolakan. Kekecewaan yang dialami kerap berimbas pada berhentinya tekad menjadi penulis. Oleh karena itu jika ingin menjadi penulis harus pantang menyerah.

  • Siap belajar menulis pada siapa pun

Belajarlah pada siapa pun, serap ilmunya, lalu praktikkan. Masing-masing guru punya cara menulis berbeda. Ada yang menulis di kertas baru disalin di komputer, ada yang langsung menulis di komputer, ada yang memulainya dengan membuat outline. Ada yang lancar menulis di keramaian, ada yang baru bisa menulis jika suasana sepi. Pilihlah mana yang paling cocok dengan diri.

  • Hati-hati dengan pujian

Di mana karya berhasil terbit, di situ gemuruh tepuk tangan terdengar. Hati-hati! Hati-hati dengan pujian. Pujian sering membuat seseorang terlena hingga merasa cepat puas. Sebaliknya, kritikan membuat seseorang belajar lebih giat. Berterima kasihlah pada kritikan.

  • Berikan hadiah untuk diri sendiri

Berani menjadi penulis berarti berani kehilangan waktu bersenang-senang. Ketika sebagian yang lain menghabiskan waktunya di akhir minggu, seorang penulis terkadang harus rela kehilangan akhir minggu. Rela menunda bersenang-senang demi selesainya sebuah tulisan. Jika kewajiban ini berhasil diselesaikan, berikan hadiah pada diri sendiri. Misalnya dengan bermain gadget seharian, jalan-jalan, menyantap makanan kesukaan, dan sebagainya.


Bersyukur dan bahagia melihat karya terpajang di toko buku kesayangan

  •   Luruskan niat menulis

Yang utama dari proses menjadi penulis adalah meluruskan niat. Untuk apa ingin menjadi penulis? Ingin terkenal? Ingin mendapatkan honor? Agar terlihat keren? Ingin berbagi pengetahuan? Ingin bermanfaat lewat tulisan? Luruskan niat dan bulatkan tekad agar semangat menulis terus berkobar walaupun banyak tantangan.

Dan, sampai detik ini saya terus belajar memperbaiki tulisan. Alhamdulillah tahun ini lahir buku antologi 'Sepotong Rasa'. Buku ini hasil belajar peserta kelas menulis cara mengubah curhatan menjadi transferan. Semoga 2019 bertambah karya, aamiin.