Selasa, 30 Mei 2017

Tuwir-Tuwir Punya Karya



Senja berbalut jingga,
Cahaya keemasan menerobos asap teh
Menyisakan lengkung senyum di beranda
Berhias kepak burung berarak
Celoteh bocah digiring pulang

Sore yang genit,
Duduk wanita beruban memilin imaji
Menyulam kata mengasah makna
Itulah aku!
:Yang berkarya di usia senja
 
Alhamdulillah. Semoga istiqamah menebar manfaat.
            Sejak berseragam merah putih aku suka membaca. Bacaanku waktu itu kebanyakan buku perpustakaan SD. Berhubung jumlahnya terbatas, beberapa buku kubaca hingga tiga kali, sampai hapal titik komanya. Pernah suatu hari aku membaca cerita seru. Namun, ujung halaman majalah anak itu sobek. Aku tak menemukan endingnya. Perasaan rasa ingin tahu dan kecewa beraduk, sejak itu aku gemar menulis cerita-cerita singkat.
            Setiap hari aku menulis puisi di buku tulis lusuh. Saat berantem dengan teman, kutulis kejadian lengkap dengan cacian dan tanda seru yang membuatku puas meskipun tak harus membalas. Ketika mendapat hukuman di sekolah kuciptakan bait-bait jengkel berujung tawa, dengan begitu tak kusimpan dendam. Dan, saat pertama kali menerima surat merah jambu dari kakak kelas, kubalas rayuan gombal itu dengan puisi nasihat, “Lebih baik kita bersahabat”. Gaya, ya! Hahaha…
            Kebiasaan mencipta puisi ini berlanjut di bangku SMP. Aku kerap dapat order nulis puisi untuk nembak cewek atau cowok pujaan. Cinta monyet bermodal puisi ini sangat ngetop di era 80-an (mulai ketauan tuwirnya). Tidak ada honor nulis waktu itu. Aku cukup puas dengan makan gratis di kantin sekolah. Kumpulan puisi semakin menggunung, namun entah belum ada niat mengirimkannya ke media.
Saat berseragam abu-abu putih, aku mencoba kirim cerita pendek ke majalah remaja. Suatu hari saat pelajaran berlangsung, tiba-tiba aku dipanggil ke ruang Bimbingan Penyuluhan (sekarang ruang BK). Sepanjang lorong aku menduga-duga apa salahku. Ruang BP identik dengan anak bermasalah. Aku tak punya masalah! Aku merasa tidak aneh-aneh dan tak pernah dihukum sebab sebuah pelanggaran.
Perlahan kumasuki ruang lengang. Bunyi jarum jam di dinding seperti mengajak berlomba. Aku tak mau mundur sebab merasa tidak bersalah.


“Benar ini, kamu?” Nama yang amat kukenal terpampang cantik di bawah judul cerita.
Oh, jadi ini masalahnya. Dua bulan lalu aku mengirim cerpen ke sebuah majalah. Aku menulis alamat sekolah karena kupikir agak susah menjangkau alamat rumah di kampung. Benar saja. Ketika cerpen itu dimuat, pihak sekolah kelimpungan mencari tahu nama asliku sebab aku mencantumkan nama pena, tanpa menulis nama asliku. Ini menjadi pelajaran penting namun sayangnya tak menjadikan diriku rajin mengirim naskah. Aku terlalu asyik  mengumpulkan karya lalu menjadikannya dokumentasi pribadi.
Menulis puisi, cerita pendek, cerita bersambung terus berlangsung. Saat aku diterima bekerja sebagai sekretaris pimpinan redaksi di sebuah koran lokal di Denpasar, seorang laki-laki berwibawa menanyai bacaan kesukaanku. Kami mengobrol lama hingga di ujung pertemuan hangat itu baru tersadar ternyata beliau bang Adek Alwi; cerpenis senior yang karyanya kerap kunikmati di Majalah Anita, waktu itu.  Sungguh tersanjung! Ternyata aku sekantor dengan Bang Adek Alwi terlebih di hari-hari berikutnya aku juga menjadi sekretarisnya, selain menjadi sekretaris Bang Arie Batubara.
Kedekatanku dengan para penulis ternama tidak menjadikan aku rajin mengirim karya. Aku masih nulis dan sekali lagi, aku cukup puas dengan menyimpannya di tumpukan folder pribadi. Kebiasaan ini terus berlangsung  sampai aku pindah bekerja di bank swasta. Masih sebagai sekretaris Pimpinan Cabang. Di sini pun aku pernah diminta menulis puisi oleh salah seorang rekan kerja.
“Makasih ya, pusingku ilang tiap baca pusimu,” ungkap rekan kerjaku itu.
Dalam hati,  itulah yang kulakukan selama ini. Puisi menjadi sarana ‘membuang’ masalah. 
Sejak memiliki buah hati aku memutuskan menjadi ibu rumah tangga total. Kesibukan merawat anak dan memulai bisnis sempat menjauhkanku dari dunia menulis, namun membaca tetap menjadi menu harian.
Pertengahan 2005 aku dihubungi ketua FLP Bali, Mas Hanafi waktu itu, yang akan mengadakan workshop menulis artikel, cerpen, dan novel. Saat itu usaha laundry yang kami rintis tengah berkibar dan kedatangan Mas Hanafi untuk meminta kami menjadi salah satu sponsor. Deal! Aku berkesempatan mengikuti acaranya.
Peserta workshop di Denpasar rata-rata masih muda. Aku tercatat sebagai peserta paling tua, tapi pedeh ajah, hahaha. Selama mengikuti workshop itu aku dua kali terima hadiah. Pertama,  dapat termos unik sebab outline artikel berjudul  Pengaruh Bom pada Masyarakat Bali dinyatakan lolos dan siap dikembangkan. Kedua, buku novel gratis untuk kelompokku karena narasi drama dinyatakan paling bagus oleh Mas Gola Gong. Tahu nggak siy,  yang nulis narasi itu, aku… Oooow…hihihi.
Sepulang workshop tumbuh niat menulis. Dan memang aku semakin rajin nulis di sela kesibukan. Aku ke manakan, karyaku? Selalu dan selalu tersimpan rapi di komputer. Jangan ditiru!!!
Tahun 2007 bisnis yang pernah menerbangkan aku ke awan; menikmati keindahan surga dunia hingga kadang lupa cara menjejak tanah, tiba-tiba terjungkal. Aku terpelanting menyisakan derita lahir batin. Kami sekeluarga terpaksa meninggalkan Pulau Bali dan memulai hidup baru di kota kecil di Jawa Timur. Satu setengah tahun kemudian takdir membawa tapak kakiku menginjak bumi lancang kuning, Pekanbaru.
Di Pekanbaru aku memiliki banyak waktu untuk membaca dan menulis. Suatu ketika aku melihat pengumuman lomba menulis kisah  inspiratif di facebook. Aku tergerak mengikutinya. Hari itu juga kubuat daftar peristiwa pahit yang pernah kualami. Kupilih kisah suka duka menghadapi masa-masa sulit di Bali untuk kuikutkan dalam kompetisi kisah inpiratif. Aku menulisnya begitu saja. Apa yang kurasakan, itu yang kutulis. Naskah kukirim seminggu sebelum masa deadline. Setelah itu aku lebih asyik bernostalgia dengan teman-teman lama di dunia maya.
Pagi saat sibuk nginem hehe, terdengar pesan masuk di gadget.
“Slm insprtf! Messge ini adlh tindak knfirms Leutika mengenai msknya anda sbg 18 pmng lomba. Info lbh lnjt bisa diklik fb Leutika.”
Alhamdulillah, karyaku lolos! Tanganku bergetar menyalakan komputer, jari-jari beradu cepat dengan detak jantung. Tak sabar ingin melihat namaku. Saat menatap halaman pengumuman aku sengaja mencarinya dari bawah, namun tak kutemukan. Wah, jangan-jangan keliru. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya mataku tertumbuk sebuah nama di barisan atas. Masya Allah, nama itu berada di urutan ketiga. Pemenang pertama dan  kedua tak asing lagi. Keduanya telah menelorkan banyak buku.
Kemenangan ini membuka mata ternyata aku mampu bersaing. Aku mulai rajin berburu informasi audisi menulis. Tak kupedulikan hadiah, kuikuti tawaran menulis dengan niat untuk mengasah kemampuan menulis. Aku belajar membidik ide, mematuhi deadline, dan siap menghadapi kesuksesan yang tertunda. Beberapa tulisanku lolos dan sebagian dikembalikan. Selain mengirim naskah antologi, aku mencoba mengirim cerita anak. Dua kali mengirim cernak ke majalah, dua kali lolos. Berlipat-lipat keyakinanku ternyata aku mampu berkarya.

Mencatat ide di mana pun termasuk saat nunggu penumpang ojek

Sejak itu buku teori menulis bertumpuk di lemari. Aku juga rajin mengikuti kelas menulis berbayar. Aku sadar, semua itu tidak menjamin keberhasilanku tanpa usaha memratikkannya. Aku beruntung berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan menulis di antaranya; workshop menulis bacaan anak, kelas menulis pictbook, kelas menulis naskah terjemahan, menulis skenario, kelas mengedit bersama editor senior, dan lain-lain.
Sekali lagi! Gemar melahap teori dan mengikuti workshop menulis tidak menjamin karya seseorang diterima. Aku hampir putus asa ketika sejumlah naskah buku ditolak penerbit. Bukankah aku sudah menerapkan teori menulis? Bukankah aku sudah tekun mengikuti kelas-kelas menulis?
“Coba kamu berhenti nulis sebentar,” saran sahabat.
“Tidak bisa,” sanggahku, sebab aku mulai sulit berhenti nulis.
“Maksudku, coba kamu baca lagi naskah-naskah tolakan itu lalu pelajari catatan editornya,” Kalimat sahabat kali ini tidak kubantah.
Aku sepakat. Kuamati tiap huruf dari tumpukan naskah tolakan, aku cermati catatan redaksi.
Tulisan rapi, minim kesalahan tapi konfliknya kurang tajam.
Bahasanya ringan, ceritanya mengalir, tapi lama-lama membosankan.
Kenapa ya, saya belum menemukan sesuatu yang, wow! Padahal di awal sudah enak dibaca, coba direvisi lagi.
Naskah ini sudah sering ditulis, coba buat dari sudut pandang lain.
Diam-diam aku setuju kalau naskahku pantas ditolak, dengan begini aku semakin rajin berlatih. Pelan-pelan aku menerapkan saran para penulis yang sudah banyak menghasilkan karya. Misalnya, ketika jenuh menulis cerpen aku mencoba mencipta puisi, saat bosan merevisi naskah tolakan aku mengirim artikel. Tak  kubiarkan diriku berhenti menulis.
 Kini di usia ‘kepala’ empat, Alhamdulillah… belasan antologi sudah di tangan. Alhamdulillah berhasil melahirkan buku solo terbitan Kaki Langit Kencana dan Elexmedia. Alhamdulillah telah menulis sejumlah scene untuk FTV anak dan telah tayang di TV stasiun swasta.
Seorang teman pernah berujar seharusnya aku kirim naskah sejak dulu, dengan begitu mungkin aku sudah memiliki karya solo segudang. Mungkiiiin….
“Ah, aku menikmati dan mensyukuri setiap keadaan, menurutku tidak masalah memulai niat baik di usia tak lagi muda ini.”
Kawanku itu terdiam. Semula aku mengira kalimatku itu tak lain sebuah penghiburan diri. Belakangan aku kerap mengulang kata-kataku itu untuk para sahabat yang baru memulai berkarya di usia senja, seperti aku.  
Dua tahun terakhir ini aku tidak menelurkan karya apapun namun tetap mencatat setiap ide yang terlintas. Dua tahun terakhir ini aku diberi kesempatan olehNya mencecap pahit getirnya kehidupan yang aku yakini ini sebuah bentuk kasih sayangNya padaku. Dua tahun terakhir ini aku lebih banyak belajar ilmu kehidupan yang mudah-mudahan suatu hari terwujud dalam sebuah karya. Aamiin.

Salam mulia dan bahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar