Senin, 25 September 2017

Hadiah Allah



Gerimis akhir September sore ini menyeret anganku ke masa silam…
Dulu sekali, aku pernah punya kegiatan segambreng. Berenang, senam, dan kadang-kadang menari. Semasa kuliah, aku sering diajak teman ke masjid kampus mengikuti pengajian rutin. Setiap di masjid, aku selalu sibuk mengatur cara duduk. Aku belum berpakaian sebagaimana muslimah lainnya yang memakai hijab. Setiap kali mengikuti kajian rutin di masjid, buru-buru aku mencari mukena untuk menutup tubuh bagian bawah. Duh, malu sekali waktu itu.
Suatu Malam…
            Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan aku mencari sesuatu. Sesuatu itu akhirnya menghampiriku, di malam yang hening, tepat di usiaku yang ke-20. Alhamdulillah Ya Allah. Teman-teman sempat bengong melihat penampilan baruku. Ada yang histeris memeluk dan menumpahkan air mata syukur. Ada yang memandang tidak suka entah sebab apa. Ada yang terang-terangan mencibir dan berani bertaruh, umur kerudungku hanya seumur jagung. Ada yang mencoba merontokkan niat hijrahku dengan mengingatkan sederet jadwal renang dan senam.
Saat itu pakaian renang atau senam untuk pemakai hijab belum seperti sekarang ini; yang tetap bisa berenang dengan pakaian renang syar’i. Ini berarti ketika aku telah memutuskan berhijrah meninggalkan pakaian lama, maka berhenti pula kegiatan berenang, senam, serta menari. Tidak masalah! Aku ingin menjadi wanita salihah.
Bersama buah hati. Semoga istiqamah dalam niat memperbaiki diri.
Sambutan teman-teman akan penampilan baruku belumlah usai. Aku menerima segebok surat kaleng. Sayang banget kakimu sekarang kau balut kain panjang. Sialan! Aku tuch paling suka ngintip kamu renang. Boddy cakep kok ditutup, dasar sok alim! Astaghfirullah. Surat-surat itu semakin membuka mataku, betapa banyak dosa yang telah kuhimpun jika aku tidak segera berhijrah.
Akhirnya, rangkaian teror dalam surat kaleng itu justru menguatkan niat; Bismillah Ya Allah, aku berniat berhijab untuk mencari ridhaMu, tolonglah aku menghadapi semua tantangan berhijrah ini, tiada hal sulit jika Engkau menghendakinya mudah, aamiin. Sejak itu ke mana pun pergi aku berhijab.
Hadiah…
Dua hari setelah wisuda di sebuah program diploma di kota Malang, aku membaca sebuah lowongan pekerjaan di luar kota. Lowongan itu sesuai jurusan saat kuliah. Aku mencoba melamarnya dan dua minggu kemudian aku mendapat panggilan interview, berlanjut sederet tes tulis. Satu bulan setelah proses seleksi tersebut, aku kembali menerima panggilan.
Namun, betapa aku terpana saat berada di lokasi. Di antara lima pelamar kerja yang semua wanita, hanya aku yang berhijab. Allah, jika Engkau takdirkan aku menjemput rezeki di sini, tiada yang tidak mungkin.
Semua pelamar meninggalkan ruangan dengan wajah sumringah. Sepertinya mereka lancar melewati panggilan terakhir ini. Aku ikut senang.
Giliranku melewati proses wawancara.
“Kenapa pakai kerudung?” tanya Kepala Bagian Personalia.
Aku menjelaskan alasanku dengan yakin, bahkan aku berani mencomot sepenggal firman Allah SWT tentang kewajiban menutup aurat bagi seorang muslimah.
Bapak Kepala Bagian Personalia itu tersenyum. “Seandainya kamu diterima di perusahaan ini tetapi harus melepas kerudung, bagaimana?”
Aku terdiam sejenak.
“Maaf Pak, sejak memakai kerudung saya bertekad tidak ingin melepasnya. Kalau memang ini keputusan perusahaan untuk tidak menerima karyawati berkerudung, saya memilih mencari pekerjaan di tempat lain.”
Senyum Bapak berkaca mata itu mengembang. Senyum yang tak kumengerti maknanya. Tepat satu bulan kemudian, datang keputusan dari langit bahwa aku diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional. Alhamdulillah. Sebuah kenyataan yang awalnya sulit kupercaya. Baru saja diwisuda, langsung diterima kerja, di saat teman lainnya masih sibuk mencari-cari lowongan. Air mataku luruh saat melihat besarnya gaji yang akan kuterima. Niatku berhijab ingin memperbaiki diri, ingin meninggalkan keburukan-keburukan, namun Allah memberiku lebih. Walaupun banyak tantangan saat berniat menutup aurat, Alhamdulillah aku merasa jadi lebih baik dengan berhijrah. Semoga bisa menjadi hikmah, menjadi seorang muslimah inspiratif bagi kaumku khususnya untuk buah hatiku. Tak ada terlambat untuk sebuah niat baik.
Gerimis akhir September reda, namun kedua pipiku semakin basah oleh air mata syukur.

 Note: Kisah ini ditulis untuk mengikuti sebuah kompetisi blog saliha.id. Ikutan kirim yuk...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar