Sebut saja namanya, Yanti, pelajar SMU kelas X di kota N tidak pernah memilih
peran sebagai gadis cadel. Ia tidak ingin menjadi bahan ejekan setiap bicara di
kelas, kantin, atau halaman sekolah. Namun jika takdir menggariskan Yanti
sebagai gadis yang bicaranya kurang jelas, terkesan seperti balita belajar
mengeja kata, siapa yang sanggup menolak?
“Aku malu, tiap bicala semua teltawa, hiks...” isak Yanti
pada pundak Siti, teman sebangkunya.
“Sudahlah, biarin saja, toh nilai kamu selalu tinggi di
kelas,” hibur Siti.
Yanti mengangguk. “Iya, tapi meleka teltawa teyus dengal
sualaku.”
“Sudahlah...” Siti kembali menghibur kali ini sambil
makan tahu goreng pemberianYanti. “Makasih, tahumu empuk dan gurih.”
Putaran waktu berlalu. Yanti ingin melanjutkan kuliah
namun apa daya, orang tuanya minta Yanti bekerja satu atau dua tahun dulu,
setelah itu baru kuliah. Keterbatasan biaya menjadi kendala untuk orang tua
Yanti yang memiliki lima orang anak. Yanti anak pertama.
Dengan
penuh rasa syukur, Yanti turuti keinginan orang tuanya. Ia kemudian membantu
orang tuanya mengurus usaha pembuatan tahu di kampungnya. Nilai matematika
Yanti yang selalu menonjol selama sekolah terlihat di sini. Yanti begitu pintar
mengitung rugi laba usaha tahu milik orang tuanya. Bahkan Yanti bisa memberi
masukan pada orang tuanya cara menghemat biaya agar laba lebih banyak didapat
tanpa mengurangi kualitas tahu.
Dua tahun setelah terjun di pembuatan tahu, Yanti
mendapat kepercayaan mengelola usaha tahu yang sengaja disiapkan orang tuanya
untuk Yanti. Yanti menurut. Tak sedikit pun ia berani membantah. Toh keinginan
orang tuanya bukan sesuatu yang melanggar nilai agama.
Dua
belas bulan Yanti mengelola usaha tahu, nama tahu ‘Yan’ sangat terkenal di
daerahnya bahkan hingga keluar kota. Nasib baik Yanti masih berlanjut. Ia
kemudian diperistri seorang pengusaha yang sangat tertarik pada keuletan Yanti
dalam berbisnis. Yanti bahagia dan bersyukur atas skenario langit yang
ditujukan padanya.
***
Kisah
Yanti di atas mengingatkan saya pada nasihat almarhumah Ibu untuk ketiga
anaknya. Teman-teman barangkali juga pernah mendengar ucapan orang tua yang
kurang lebih seperti ini, ucapan orang tua untuk anaknya itu malati atau akan terbukti. Maksudnya, bahwa
setiap kalimat orang tua untuk putra putrinya langsung tertulis di buku catatan
Malaikat, dan hak Allah untuk mengabulkan atau menggantinya dengan sesuatu
menurut kehendakNya. Jika ucapan orang tua untuk anaknya adalah kebaikan,
alhamdulillah, sebab cepat atau lambat kebaikan sebagaimana yang terucap dari
mulut orang tua akan terwujud. Pun sebaliknya, jika ucapan itu mengandung celaka,
sebagai anak maka tentu harus segera istighfar dan memohon maaf pada orang tua.
Bisa jadi kalimat tersebut keluar oleh beratnya perasaan orang tua menahan
marah atau hilangnya kesabaran orang tua melihat kelakuan anaknya.
Sikap
Yanti menghadapi keputusan orang tuanya untuk menunda kuliah diterimanya dengan
penuh rasa syukur. Walaupun bekerja di perusahaan tahu bukanlah cita-citanya,
Yanti tetap melakukan pekerjaan penuh rasa syukur dan tanggung jawab.
Sikap
Yanti tersebut mengingatkan kita pada firman Allah. Kami telah mengaruniakan hikmat kebijaksaan kepada Luqman:
“Bersyukurlah kepada Allah! Sebab barangsiapa yang bersyukur, berarti ia
bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya dan terpuji.” (Al-Luqman: 12)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa efek bersyukur atas nikmat-nikmat Allah akan kembali
pada hambaNya. Allah akan menambah nikmat jika hambaNya pandai bersyukur dan
seandainya terdapat hamba Allah yang tidak bersyukur maka Allah tetap Maha Kaya
dan terpuji. Subhanaallah.
Janji
Allah bahwa jika hambaNya bersyukur maka akan mendapat nikmat lainnya terlihat
pada keberhasilan Yanti dalam mengurus perusahaan tahu. Ia tidak menduga jika
niatnya membantu orang tua akan mengantarkan dirinya menjadi pengusaha tahu dan
disunting seorang pengusaha. Yanti yang cadel, yang selalu menjadi bahan tawaan
teman-teman sekolah, tak lagi mempermasalahkan kekurangannya. Sebab menurutnya,
nikmat Allah jauh lebih besar dibandingkan kelemahannya itu.
Bersyukur
pada apapun yang kita miliki akan mengundang nikmat Allah lainnya. Bersyukur
tinggal di kampung jauh dari gemerlap kota, maka Allah memberi nikmat udara
segar melimpah ruah. Coba kalau harus membayar biaya udara segar jauh polusi
setiap hari, sudah berapa duit melayang. Bisa-bisa nasib dompet seperti bawang
merah, yang jika dibuka langsung ingin menyeka air mata. Duh, melas. Bersyukur
belum punya gadget terbaru seperti milik teman, coba kalau punya hape seharga
tujuh juta rupiah terus pas jalan-jalan di mall, teman-teman minta ditraktir
minum. Masak iya mau menggiring mereka keluar, lalu beli es teh saja di pinggir
trotoar. Bersyukur kalau ke sekolah naik angkot atau nebeng teman atau diantar
Bang Ojek walaupun maksud hati bisa naik kendaraan pribadi. Tapi itu berarti
harus bangun dan berangkat pagi-pagi, jika tidak ingin terlambat sekolah
terlebih yang bertempat tiinggal di kota besar penuh kemacetan.
Dari
contoh di atas, bisa dipahami bahwa ternyata banyak cara bersyukur atas seluruh
nikmat yang diberikan Allah untuk hambaNya. Kita harus pandai mensyukuri nikmat
yang diberikan gratis olehNya. Terbayang tidak, seandainya kita harus membayar
biaya bernapas setiap hari, atau tidak usah sehari. Satu jam saja. Misalnya, tarif bernapas lega tanpa oksigen sekarang
Rp10,000,00 per jam. Naik 20% dari bulan kemarin karena saat ini polusi udara
merebak di mana-mana. Coba teman-teman itung, berapa total tagihan untuk
bernapas sehari? Yup, totalnya Rp240.000,00 sehari. Itu satu orang. Kalau seisi
rumah lima orang? Berapa total tagihan seminggu? Satu bulan? Satu tahun?
Apakah
hanya nikmat yang bersifat materi saja yang harus disyukuri? Yang untuk
mendapatkannya harus dengan rupiah? Yang untuk memilikinya harus bersusah
payah? Tidak!
Yuk
kita merenung sebentar. Apakah untuk memiliki Ibu dan Ayah, Emak dan Bapak,
Mama dan Papa, Mami dan Papi, Mommy and Daddy sekarang ini, teman-teman harus
memesan khusus pada Allah SWT? (Eh tau
gak sih, ajib dech punya nyokap bokap baik, penyayang, keren. Dulu kan emang
gue udah order ama Allah sebelum ortu lahir ke dunia). Tentu tidak seperti
itu cara kedua orang tua berada di bumi ini. Mereka ada atas kehendakNya lalu
ditakdirkanlah sebagai perantara teman-teman lahir di dunia. Lewat kemurahan
Allah teman-teman punya orang tua yang penyayang dan penuh kasih; yang tidak
tidur sepanjang malam setiap buah hatinya sakit, yang tidak berhenti bekerja
sebab anaknya minta baju lebaran, yang harus menjual sebagian harta demi
sekolah anak, yang rela kulitnya terbakar matahari di tengah sawah untuk
cita-cita anak, dan masih banyak bentuk kasih sayang orang tua pada anaknya.
Tidak dipungkiri ada sebagian orang tua tega berbuat jahat kepada anaknya dan
itupun atas kehendak Allah yang hanya Ia yang tahu maksudnya sebab pada
dasarnya semua orang tua sangat menyayangi anaknya.
Lalu,
sudahkah kita bersyukur atas nikmat ini? Sudahkah kita bersyukur memiliki saudara
kandung; adik, kakak, yang keberadaan mereka walau sering menyebalkan tetap
bikin kangen jika berjauhan? Sudahkah kita bersyukur punya sahabat yang mengerti
perasaan, yang bersedia menjadi tempat curhat ketika kita enggan bercerita pada
orang tua dan saudara? Sudahka kita bersyukur memiliki tetangga sebaya yang peduli?
Bukan saudara jauh yang datang pertama saat kita terbaring sakit, melainkan
tetangga baik. Sudahkah kita bersyukur bertemu guru yang mampu membimbing, sabar
menerima kekurangan, tidak bosan menasihati demi kemajuan prestasi, dan
bersedia mengganti posisi orang tua di sekolah? Semoga
Allah melipatgandakan rasa syukur ini sehingga bertambah terus karunia Allah untuk
kita. Aamiin.
“Maka ingatlah kepadaKu, Aku pun
akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu ingkar
kepadaKu.” (Al-Baqarah: 152)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar