Kugandeng
pergelangan Ibu menuju sekolah.
“Hati-hati
Nisa, jalanan becek,” suara Ibu kudengar jelas.
“Lihat, sudah banyak kawanmu yang datang,” tambah Ibu.
“Pasti
ada Sasha dan Lusi ya, Bu,” tidak kulepas tangan Ibu.
“Iya,
Sasha dan Lusi sudah duduk di bawah pohon asam,” jawab Ibu.
Di
samping ruang kelasku ada pohon asam.
Ibu pernah bilang, daun pohon asam rindang. Kata Ibu, di bawah pohon asam ada pembatas
melingkar yang bisa dipakai untuk duduk-duduk.
Buah asam itu, kata Ibu lagi,
kalau masih muda warnanya kuning pucat. Kalau sudah matang berubah merah
kecoklatan. Ibu juga bilang, daun asam
itu bentuknya kecil-kecil. Ah, apa kata
Ibu, aku percaya saja.
“Kita sudah di
kelas Nisa, sampai nanti Ibu jemput, ya,”
Ibu selalu mengucapkan kalimat ini sebelum meninggalkan sekolah.
Sementara itu di
dalam kelas…
“Anak-anak,
hari ini kita tidak belajar seperti biasa, Ibu kurang sehat. Jadi kalian latihan bercerita untuk pentas
seni nanti,” Bu Yanti tak menlanjutkan kalimatnya. “Ugh… ughh…, jangan bikin kegaduhan di
kelas,” suara Bu Yanti serak.
“Ya Bu Yanti….”
serempak suara teman sekelas.
“Jam
istirahat tidak boleh keluar kelas.
Nisa, kamu ingat-ingat ya, suara siapa yang paling ribut. Nanti, kasih tahu Ibu!” perintah Bu Yanti.
Kuanggukan
kepala dan langsung kujawab, “ Baik, Bu Yanti.”
Setelah itu
langkah Bu Yanti menjauh. Segera aku dan
kawan-kawan berlatih bercerita untuk pentas .
Di kelasku ada tujuh murid dan nanti semua akan tampil satu persatu menyampaikan
surat untuk Tuhan.
Sayup-sayup
kudengar suara Lusi. Rupanya Lusi minta
ke Tuhan, dia ingin seperti anak-anak yang lain yang bisa melihat indahnya
dunia. Lusi, sekarang pun kamu bisa melihat indahnya dunia jika kamu sering
bercerita sama Mamamu, gumamku dalam hati.
Sasha,
kawan yang kata Ibu berambut sebahu dan selalu tersenyum itu bilang, tak akan
marah kepada siapa pun. Bahkan Sasha
berterima kasih kepada Tuhan karena telah memiliki Mama dan Papa yang sangat
sayang padanya. Sangat lirih, aku bisa
mendengar Sasha ingin menjadi guru. Amiiin… Sasha, mudah-mudahan kelak kamu
menjadi guru, doaku dalam hati.
Sasha,
Lusi juga yang lain adalah kawanku yang baik.
Meskipun baik, sengaja aku tidak menjawab pertanyaan mereka tentang
suratku kepada Tuhan. Aku hanya
menjawab, “Ehm…, ada dech!” Iya.
Sengaja aku merahasiakannya. Baru
saja aku menjawab pertanyaan mereka tiba-tiba…..
“Anak-anak,
sudah dulu berlatihnya,” suara di depan
kelas bukan milik Bu Yanti. “Saya Bu
Umi, pegawai perpustakaan baru di sekolah ini,”
lanjut Bu Umi.
“Ooow…”
mulutku membulat, pasti demikian juga kawan-kawanku.
“Bu
Yanti ke mana Bu Umi?” tanya Lusi.
“Bu
Yanti izin ke Puskesmas sebentar.”
“Kita
boleh pulang?” Sasha menambahkan.
“Ini
belum waktunya pulang, orang tua kalian belum satu pun yang menjemput. Kita ke perpustakaan dulu, mana yang namanya
Nisa, ketua kelas?”
Aku
kaget namaku disebut. “Saya, Bu!” Seketika kuangkat jari kananku.
“Nisa
berdiri sebentar, Ibu mau mengatur
barisan di belakangmu.”
Aku bisa merasakan
Bu Umi dengan sabar menata kawan-kawan di belakang. “Kita siap melangkah! Ayo Nisa, pegang baju Ibu!” perintah Bu Umi
sambil mengarahkan kedua tanganku ke pinggangnya.
Kami
berjalan beriringan, kira-kira mirip semut bergotong royong seperti dongeng
Ibu.
***
Hari
ini aku bersiap ke sekolah lebih awal.
Kata Ibu, ini baru jam 06.00 pagi tapi aku harus cepat berangkat untuk
persiapan pentas. Yach, aku mengikuti
nasehat Ibu. Dan hari ini aku bahagia karena Ayah dan Abang Amir ikut melihat
penampilanku di sekolah. Wah, pasti mereka senang.
Benar! Ternyata bukan keluargaku saja yang bahagia
melihat penampilanku dan kawan-kawan.
Guru-guru dan orang tua murid bertepuk tangan bahkan aku mendengar isak tangis.
Sayangnya, tak bisa kutangkap jelas itu suara siapa. Kalian mau
mendengar ceritaku di atas panggung juga?
Nich, aku telah minta tolong Abang Amir untuk mencatat kalimatku.
Assalamu alaikum. Hai, aku biasa
dipanggil Nisa. Seperti kawan-kawan,
Nisa juga telah menyiapkan sepucuk surat untuk Tuhan.
Tuhan, Engkau sungguh baik. Kau berikan Nisa seorang Ibu, Ayah, dan Abang
yang sangat menyayangi Nisa. Tak pernah
Nisa dengar Ibu dan Ayah mengeluh dengan
keadaan Nisa.
Tuhan, meskipun Nisa terlahir dengan
penglihatan tak sempurna, tapi Nisa tahu, pohon asam di samping kelas itu
besar. Daunnya rindang. Buahnya, kalau mentah kuning pucat dan
setelah matang berubah merah kecoklatan.
Tuhan, Engkau Maha Melihat, lihatlah
Nisa sekarang!
Tuhan, kata Ibu, bulan purnama itu
cantik, cantik seperti wajah Nisa. Bentuk bulan purnama itu bulat seperti
piring, piring yang dihadiahkan Abang Amir.
Sinarnya teduh, teduh… sekali.
Mata Nisa tak pernah melihat sinar bulan, tapi hati Nisa bisa merasakan
keteduhannya, keteduhan yang sama dalam dekapan Ibu dan Ayah.
Tuhan,
dunia ini gelap, karena sejak lahir kedua mata Nisa terpejam. Tapi, tidak dengan hati Nisa! Hati Nisa selalu terang seperti sinar purnama
dan mentari pagi yang mengiringi langkah Nisa ke sekolah
khusus ini.
Sekarang Engkau tahu Tuhan, mengapa
Nisa tak ingin minta terlalu banyak kepadaMu.
Nisa bahagia dengan apa yang Nisa
miliki sekarang. Terima kasih
Tuhan, terima kasih Ibu, Ayah, Abang
Amir, Ibu Guru semua, serta kawan-kawan.
Wassalamu
alaikum…
Ket: Dimuat majalah Ummi 2013 (naskah asli belum diedit redaksi)