Sabtu, 04 Februari 2017

Kini Rudi Mengerti

Oleh: Santi Nuur

            Semburat kuning kemerahan menghiasi langit di sebelah barat.  Namun sore yang indah  tidak membuat hati Rudi senang.
            “Kenapa sich, aku tidak seperti teman-teman yang lain?” gerutu Rudi.
            Rudi mengingat-ingat temannya. 
            Wayan.  Temannya yang baru pindah dari Bali itu sehari-hari hanya bermain play station.  Sangat jarang disuruh ibunya.  Kalau pun disuruh, pasti bukan urusan belanja ke warung.
            Candra.  Teman Rudi yang berkulit putih ini terkenal dengan koleksi mobil tamiya.  Rudi pernah main ke rumah Candra dan heran melihat kamar Candra yamg penuh dengan mainan.  Menurut Rudi, Candra sangat beruntung karena selain mempunyai banyak mainan, ia juga terbebas dari perintah ibunya untuk belanja ke warung.
            Putri.  Teman perempuan Rudi yang berambut panjang ini jauh dari urusan belanja ke warung.  Padahal ia perempuan.  Padahal ia juga anak sulung.  Padahal mamanya juga tidak punya pembantu.
            “Uh sebal,” rutuk Rudi sore itu.
            “Rudi!” panggil Mama dari dapur.
            “Tuh kan,”  Rudi bicara sendiri.
            “Rudi, sini saying,”  ulang Mama mengetahui Rudi tak segera muncul.
            “Duh, kapan sih libur belanja?”  omel Rudi sambil menghampiri Mama.
            “Telurnya habis. Tolong beli ke warung, ya.  Mama sedang memanaskan minyak untuk menggoreng kerupuk.”  Mama memberinya selembar uang Rp. 20.000,00. “Jangan lama-lama, ya, Rud,”  tambah Mama.
            Rudi pergi ke warung tanpa bicara.  Ini bukan yang pertama kali Rudi belanja dengan terpaksa.
            “Hai Rud, mau ke mana?”  suara Candra dan Wayan tiba-tiba muncul dari kejauhan .
            “Ke warung,”  jawab Rudi tanpa menoleh.
            “Ke warung?  Belanja apa, Tante?” ledek Candra setelah berada di dekat Rudi.
            Rudi tak menyahut.  Batinnya makin kesal.  Saat menyerahkan telur ke Mama, Rudi masih terdiam.  Beberapa pertanyaan Mama tidak segera dijawabnya.  Mama paham, rupanya Rudi keberatan dengan tugas yang diberikan.
            “Rud, mulai besuk, Mama akan belanja sendiri ke warung.  Tapi tolong jaga adikmu, ya.  Adikmu sedang belajar berjalan, jadi harus selalu diawasi,”  pinta Mama sambil mengelus pundak Rudi.
            “Mengapa adik tidak diajak belanja?”  tanya Rudi kemudian.
            “Rud, sejak adikmu lahir, Mama tidak boleh terlalu sering  menggendong adik karena ada sedikit masalah dalam perut Mama,”  tutur Mama.
            Rudi tidak menanggapi ucapan Mama dan memilih masuk ke kamar.
            Sore di hari lain masih menawarkan keindahan di ufuk barat. Rudi melangkahkan kakinya ke luar rumah. Sampai di pertigaan besar, mata Rudi tertuju pada seorang anak laki-laki seusianya.  Anak laki-laki itu berjalan tertatih-tatih dengan kaki kanannya. Kaki kirinya hanya sebatas lutut.  Kedua tangannya membawa majalah dan koran. Tiba-tiba, muncul rasa iba dalam benak Rudi.
            “Ada majalah Anak?” tanya Rudi.
            “Ada, ini.”
            Keduanya mengobrol sebentar.  Anak laki-laki itu bernama Eko. Ia seorang yatim piatu.  Sehari-hari Eko tinggal dengan nenek dan adiknya, Dwi.  Nenek Eko sudah tua.  Tanpa harus berjualan majalah, sebenarnya keluarga Eko tetap bisa makan.  Selama ini ada beberapa keluarga mulia yang bersedia menanggung  seluruh keperluan Eko termasuk biaya sekolah.
            “Lalu mengapa kamu mau berjualan?” tanya Rudi sebelum berpisah.
            “Karena aku tidak punya kegiatan di sore hari. Daripada diam di rumah, kugunakan kaki dan tangan ini untuk hal yang bermanfaat.  Hasilnya nanti kuberikan ke nenek dan adik, biar mereka senang.”
            Dugh!  Dada Rudi seperti ditonjok benda keras. Angannya melayang ke mama yang sedang sibuk di dapur.  Secepat kilat Rudi berlari pulang.
            “Tante! Tante! Jangan lari nanti telurnya pecah loh,” canda Candra yang selalu muncul dengan sepeda barunya.
            Rudi mendiamkannya. Setibanya di rumah dan  masih tersengal-sengal, “Ma, belanja apa Ma?  Mana uangnya?” tanya Rudi terengah-engah.
            “Ya ampun Rudi, kemana saja kamu?  Dari tadi Mama mencarimu.”
            “Maaf, Ma, Rudi ke pertigaan sana.” Rudi merasa bersalah.
            “Ke pertigaan?  Ada perlu apa ke sana?” tanya Mama sambil menuntun adik.
            “Ehm… Beli ini untuk adik, Ma.  Meski adik belum bisa baca, tapi gambarnya bagus.”  Rudi mencoba berkelit.
            “Rudi, Rudi, kamu memang kakak yang baik.  Sana cuci tangan dan kaki, lalu makan, ya.  Mama mau menemani adik tidur sebentar. Nanti Mama menyusul.”
Rudi termenung di ruang makan.  Kini dia mengerti, mengapa mama membutuhkan bantuannya. Karena hanya dia yang bisa dimintakan tolong.  Minta tolong ke adik?  Tidak mungkin, karena adik masih terlalu kecil.  Benar kata Eko, kita sudah diberi kaki dan tangan oleh Tuhan, harus kita gunakan untuk hal yang bermanfaat.



Ket:
- Versi asli sebelum diedit redaksi
- Dimuat di majalah Bravo! (Oktober 2010)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar