Oleh: Santi Nuur
Semburat
kuning kemerahan menghiasi langit di sebelah barat. Namun sore yang indah tidak membuat hati Rudi senang.
“Kenapa sich, aku tidak seperti teman-teman yang lain?”
gerutu Rudi.
Rudi mengingat-ingat temannya.
Wayan. Temannya
yang baru pindah dari Bali itu sehari-hari
hanya bermain play station. Sangat jarang disuruh ibunya. Kalau pun disuruh, pasti bukan urusan belanja
ke warung.
Candra. Teman Rudi
yang berkulit putih ini terkenal dengan koleksi mobil tamiya. Rudi pernah main ke rumah Candra dan heran
melihat kamar Candra yamg penuh dengan mainan.
Menurut Rudi, Candra sangat beruntung karena selain mempunyai banyak
mainan, ia juga terbebas dari perintah ibunya untuk belanja ke warung.
Putri. Teman perempuan
Rudi yang berambut panjang ini jauh dari urusan belanja ke warung. Padahal ia perempuan. Padahal ia juga anak sulung. Padahal mamanya juga tidak punya pembantu.
“Uh sebal,” rutuk Rudi sore itu.
“Rudi!” panggil Mama dari dapur.
“Tuh kan,” Rudi bicara sendiri.
“Rudi, sini saying,”
ulang Mama mengetahui Rudi tak segera muncul.
“Duh, kapan sih libur belanja?” omel Rudi sambil menghampiri Mama.
“Telurnya habis. Tolong beli ke warung, ya. Mama sedang memanaskan minyak untuk
menggoreng kerupuk.” Mama memberinya
selembar uang Rp. 20.000,00. “Jangan lama-lama, ya, Rud,” tambah Mama.
Rudi pergi ke warung tanpa bicara. Ini bukan yang pertama kali Rudi belanja
dengan terpaksa.
“Hai Rud, mau ke mana?”
suara Candra dan Wayan tiba-tiba muncul dari kejauhan .
“Ke warung,” jawab
Rudi tanpa menoleh.
“Ke warung?
Belanja apa, Tante?” ledek Candra setelah berada di dekat Rudi.
Rudi
tak menyahut. Batinnya makin kesal. Saat menyerahkan telur ke Mama, Rudi masih
terdiam. Beberapa pertanyaan Mama tidak
segera dijawabnya. Mama paham, rupanya
Rudi keberatan dengan tugas yang diberikan.
“Rud, mulai besuk, Mama akan belanja sendiri ke
warung. Tapi tolong jaga adikmu, ya. Adikmu sedang belajar berjalan, jadi harus
selalu diawasi,” pinta Mama sambil mengelus
pundak Rudi.
“Mengapa adik tidak diajak belanja?” tanya Rudi kemudian.
“Rud, sejak adikmu lahir, Mama tidak boleh terlalu sering
menggendong adik karena ada sedikit
masalah dalam perut Mama,” tutur Mama.
Rudi tidak menanggapi ucapan Mama dan memilih masuk ke kamar.
Sore di hari lain masih menawarkan keindahan di ufuk
barat. Rudi melangkahkan kakinya ke luar rumah. Sampai di pertigaan besar, mata
Rudi tertuju pada seorang anak laki-laki seusianya. Anak laki-laki itu berjalan tertatih-tatih
dengan kaki kanannya. Kaki kirinya hanya sebatas lutut. Kedua tangannya membawa majalah dan koran. Tiba-tiba,
muncul rasa iba dalam benak Rudi.
“Ada
majalah Anak?” tanya Rudi.
“Ada,
ini.”
Keduanya mengobrol sebentar. Anak laki-laki itu bernama Eko. Ia seorang yatim
piatu. Sehari-hari Eko tinggal dengan
nenek dan adiknya, Dwi. Nenek Eko sudah
tua. Tanpa harus berjualan majalah, sebenarnya
keluarga Eko tetap bisa makan. Selama
ini ada beberapa keluarga mulia yang bersedia menanggung seluruh keperluan Eko termasuk biaya sekolah.
“Lalu mengapa kamu mau berjualan?” tanya Rudi sebelum
berpisah.
“Karena aku tidak punya kegiatan di sore hari. Daripada
diam di rumah, kugunakan kaki dan tangan ini untuk hal yang bermanfaat. Hasilnya nanti kuberikan ke nenek dan adik,
biar mereka senang.”
Dugh! Dada Rudi
seperti ditonjok benda keras. Angannya melayang ke mama yang sedang sibuk di
dapur. Secepat kilat Rudi berlari
pulang.
“Tante! Tante! Jangan lari nanti telurnya pecah loh,”
canda Candra yang selalu muncul dengan sepeda barunya.
Rudi mendiamkannya. Setibanya di rumah dan masih tersengal-sengal, “Ma, belanja apa Ma? Mana uangnya?” tanya Rudi terengah-engah.
“Ya ampun Rudi, kemana saja kamu? Dari tadi Mama mencarimu.”
“Maaf, Ma, Rudi ke pertigaan sana.” Rudi merasa bersalah.
“Ke pertigaan? Ada perlu apa ke sana?”
tanya Mama sambil menuntun adik.
“Ehm… Beli ini untuk adik, Ma. Meski adik belum bisa baca, tapi gambarnya
bagus.” Rudi mencoba berkelit.
“Rudi, Rudi, kamu memang kakak yang baik. Sana
cuci tangan dan kaki, lalu makan, ya.
Mama mau menemani adik tidur sebentar. Nanti Mama menyusul.”
Rudi
termenung di ruang makan. Kini dia
mengerti, mengapa mama membutuhkan bantuannya. Karena hanya dia yang bisa
dimintakan tolong. Minta tolong ke
adik? Tidak mungkin, karena adik masih
terlalu kecil. Benar kata Eko, kita
sudah diberi kaki dan tangan oleh Tuhan, harus kita gunakan untuk hal yang
bermanfaat.
Ket:
- Versi asli sebelum diedit redaksi
- Dimuat di majalah
Bravo! (Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar