Senin, 06 Februari 2017

Surat Untuk Tuhan



              Kugandeng pergelangan Ibu menuju sekolah.
            “Hati-hati Nisa, jalanan becek,” suara Ibu kudengar jelas.  “Lihat, sudah banyak kawanmu yang datang,” tambah Ibu.
            “Pasti ada Sasha dan Lusi ya, Bu,” tidak kulepas tangan Ibu.
            “Iya, Sasha dan Lusi sudah duduk di bawah pohon asam,”  jawab Ibu.


            Di samping ruang kelasku ada pohon asam.  Ibu pernah bilang, daun pohon asam rindang.  Kata Ibu, di bawah pohon asam ada pembatas melingkar yang bisa dipakai untuk duduk-duduk.  Buah asam itu, kata Ibu lagi,  kalau masih muda warnanya kuning pucat. Kalau sudah matang berubah merah kecoklatan.  Ibu juga bilang, daun asam itu bentuknya kecil-kecil.  Ah, apa kata Ibu, aku percaya saja. 
“Kita sudah di kelas Nisa, sampai nanti Ibu jemput, ya,”  Ibu selalu mengucapkan kalimat ini sebelum meninggalkan sekolah. 
Sementara itu di dalam kelas…
            “Anak-anak, hari ini kita tidak belajar seperti biasa, Ibu kurang sehat.  Jadi kalian latihan bercerita untuk pentas seni nanti,” Bu Yanti tak menlanjutkan kalimatnya.  “Ugh… ughh…, jangan bikin kegaduhan di kelas,” suara Bu Yanti serak.           
“Ya Bu Yanti….” serempak suara teman sekelas.
            “Jam istirahat tidak boleh keluar kelas.  Nisa, kamu ingat-ingat ya, suara siapa yang paling ribut.  Nanti, kasih tahu Ibu!”  perintah Bu Yanti.
            Kuanggukan kepala dan langsung kujawab, “ Baik, Bu Yanti.” 
Setelah itu langkah Bu Yanti menjauh.  Segera aku dan kawan-kawan berlatih bercerita untuk pentas .  Di kelasku ada tujuh murid dan nanti semua akan tampil satu persatu menyampaikan surat untuk Tuhan.
            Sayup-sayup kudengar suara Lusi.  Rupanya Lusi minta ke Tuhan, dia ingin seperti anak-anak yang lain yang bisa melihat indahnya dunia.  Lusi, sekarang pun kamu bisa melihat indahnya dunia jika kamu sering bercerita sama Mamamu, gumamku dalam hati. 
            Sasha, kawan yang kata Ibu berambut sebahu dan selalu tersenyum itu bilang, tak akan marah kepada siapa pun.  Bahkan Sasha berterima kasih kepada Tuhan karena telah memiliki Mama dan Papa yang sangat sayang padanya.  Sangat lirih, aku bisa mendengar Sasha ingin menjadi guru.  Amiiin… Sasha, mudah-mudahan kelak kamu menjadi guru, doaku dalam hati.
            Sasha, Lusi juga yang lain adalah kawanku yang baik.  Meskipun baik, sengaja aku tidak menjawab pertanyaan mereka tentang suratku kepada Tuhan.  Aku hanya menjawab,  “Ehm…, ada dech!”  Iya.  Sengaja aku merahasiakannya.  Baru saja aku menjawab pertanyaan mereka tiba-tiba…..
            “Anak-anak, sudah dulu berlatihnya,”  suara di depan kelas bukan milik Bu Yanti.  “Saya Bu Umi, pegawai perpustakaan baru di sekolah ini,”  lanjut Bu Umi.
            “Ooow…” mulutku membulat, pasti demikian juga kawan-kawanku.
            “Bu Yanti ke mana Bu Umi?”  tanya Lusi.
            “Bu Yanti izin ke Puskesmas sebentar.”
            “Kita boleh pulang?”  Sasha menambahkan.
            “Ini belum waktunya pulang, orang tua kalian belum satu pun yang menjemput.  Kita ke perpustakaan dulu, mana yang namanya Nisa, ketua kelas?”
            Aku kaget namaku disebut.  “Saya, Bu!”  Seketika kuangkat jari kananku.   
            “Nisa berdiri sebentar, Ibu mau mengatur  barisan di belakangmu.” 
Aku bisa merasakan Bu Umi dengan sabar menata kawan-kawan di belakang.  “Kita siap melangkah!  Ayo Nisa, pegang baju Ibu!” perintah Bu Umi sambil mengarahkan kedua tanganku ke pinggangnya.         
            Kami berjalan beriringan, kira-kira mirip semut bergotong royong seperti dongeng Ibu. 
***
            Hari ini aku bersiap ke sekolah lebih awal.   Kata Ibu, ini baru jam 06.00 pagi tapi aku harus cepat berangkat untuk persiapan pentas.  Yach, aku mengikuti nasehat Ibu. Dan hari ini aku bahagia karena Ayah dan Abang Amir ikut melihat penampilanku di sekolah. Wah, pasti mereka senang.
            Benar!  Ternyata bukan keluargaku saja yang bahagia melihat penampilanku dan kawan-kawan.  Guru-guru dan orang tua murid bertepuk tangan bahkan aku mendengar  isak tangis.  Sayangnya, tak bisa kutangkap jelas itu suara siapa. Kalian mau mendengar ceritaku di atas panggung juga?  Nich, aku telah minta tolong Abang Amir untuk mencatat kalimatku.
            Assalamu alaikum. Hai, aku biasa dipanggil Nisa.  Seperti kawan-kawan, Nisa juga telah menyiapkan sepucuk surat untuk Tuhan. 
            Tuhan, Engkau sungguh baik.  Kau berikan Nisa seorang Ibu, Ayah, dan Abang yang sangat menyayangi Nisa.  Tak pernah Nisa dengar Ibu dan Ayah  mengeluh dengan keadaan Nisa.   
            Tuhan, meskipun Nisa terlahir dengan penglihatan tak sempurna, tapi Nisa tahu, pohon asam di samping kelas itu besar.   Daunnya rindang.  Buahnya, kalau mentah kuning pucat dan setelah matang berubah merah kecoklatan.  
            Tuhan, Engkau Maha Melihat, lihatlah Nisa sekarang! 
Tuhan, kata Ibu, bulan purnama itu cantik,  cantik  seperti wajah Nisa.  Bentuk bulan purnama itu bulat seperti piring, piring yang dihadiahkan Abang Amir.  Sinarnya teduh, teduh… sekali.  Mata Nisa tak pernah melihat sinar bulan, tapi hati Nisa bisa merasakan keteduhannya, keteduhan yang sama dalam dekapan Ibu dan Ayah. 
Tuhan,  dunia ini gelap, karena sejak lahir kedua mata Nisa terpejam.  Tapi, tidak dengan hati Nisa!  Hati Nisa selalu terang seperti sinar purnama dan  mentari pagi  yang mengiringi langkah Nisa ke sekolah khusus ini.
            Sekarang Engkau tahu Tuhan, mengapa Nisa tak ingin minta terlalu banyak kepadaMu.  Nisa bahagia dengan apa  yang Nisa miliki sekarang.  Terima kasih Tuhan,  terima kasih Ibu, Ayah, Abang Amir, Ibu Guru semua, serta kawan-kawan.
             Wassalamu alaikum

Ket: Dimuat majalah Ummi 2013 (naskah asli belum diedit redaksi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar