Minggu, 05 Februari 2017

Hutan Belakang Rumah





Supri tinggal bersama Emak dan Bapak. Orang tua Supri berjualan burung panggang. Setiap hari, pagi-pagi sekali, Bapak berangkat hutan mencari burung.
Hutan itu tak jauh dari rumah, hanya berjalan beberapa langkah ke belakang rumah. Hujan jati yang pohonnya sudah tinggi. Di antara pohon-pohon jati itu tumbuhlah tanaman jambu, mangga dan beberapa buah lainnya. Bapak dan Emak sengaja menanamnya di sana.
“Cepat pulang ya, Pak,” pesan Supri.
“Ya, kalau sudah dapat burung, Bapak langsung pulang,” ucap Bapak saat pamit.
Biasanya Supri ikut Bapak mencari burung. Namun, dari tadi malam badan Supri demam. Emak tak mengijinkan Supri ikut ke hutan.  Anak laki-laki yang sebentar lagi sekolah itu menurut.
Bapak terus melangkah ke hutan. Ia membawa keranjang dan bambu panjang. Di ujung bambu dipasangnya jaring kecil untuk menangkap burung. Bapak melumuri jaring dengan buah yang dihaluskan. Dengan begitu, banyak burung mendekati jaring Bapak. Dan, benar saja. Hup!!! Burung itu tertangkap. Bapak menarik bambu lalu dipindahnya burung dalam keranjang.
Sementara itu, Emak  meracik bumbu panggang di rumah. Supri duduk di samping Emak. Ia selalu mengamati Emak dan Bapak memasak.
“Oh, sudah dingin,” Emak memegang dahi Supri.
Supri mengamati Emak mengulek bumbu. Biasanya Supri membantu mengupas bawang putih tetapi kali ini Emak melarangnya.  
            “Kalau sudah siap, saya bawa keluar ya, Mak,” kata Supri.
            “Boleh, tapi biar Emak saja yang bawa kamu masih tak enak badan,”  Emak membawa bahan jualan ke depan.
            “Moga-moga panggangnya habis ya, Mak,” Supri menatap panci besar. 
            “Iya, nanti uangnya ditabung untuk masuk sekolah,” sahut Bapak di dapur.
            Supri mengangguk. Rupanya doa Supri hari itu terkabul. Burung panggang terjual habis. Bahkan Supri tidak kebagihan. Supri makan dengan bumbu burung panggang dan tempe goreng.
Malam merambat. Bapak dan Emak membereskan tempat jualannya. Setelah itu semua istirahat. Lega sekali hati Emak dan Bapak.
            Seperti biasa Bapak memasuki kawasan hutan, kali ini lebih pagi dari biasanya. Bapak  memakai baju lengan panjang, kaos kaki dan sarung. Di tengah perjalanan, Bapak berpapasan dengan  seorang laki-laki memakai topi. Lelaki itu berjalan sangat cepat sehingga Bapak tidak bisa mengenalinya. Sosok itu berlari keluar hutan.
            “Cicit cuwit  cicit cuwit,” sambut burung-burung.
            Langkah Bapak terhenti oleh suara yang mengusik dari atas pohon.  Dalam keremangan, Bapak mencari sumber suara.  Ternyata tidak jauh dari tempat Bapak berdiri. Bapak  memberanikan diri memanjat pohon jambu air.  
            “Cicit cicit cicit,” terdengar suara dari sarang.
            Bapak tertegun memandangi ulah tiga anak burung yang masih bayi.
            “Ke mana induknya?” Bapak bertanya sendiri.
            “Cicit cicit cicit,” bayi-bayi burung itu seperti memanggil.
            Bapak mendekatkan kepalanya ke sarang. Astaga!!! Ketiga anak burung yang masih kecil itu mengeluarkan air mata. “Ada apa denganmu?” tanya Bapak gusar.
            Belum sampai menemukan jawaban, Bapak dikejutkan oleh seekor burung yang mendarat di sampingnya. 
            “Oh, itu induknya,” gumam Bapak.
            Bapak terperangah. Ia menatap pemandangan di hadapannya lekat-lekat. Induk burung itu menyuapi anak-anaknya. Mereka makan dengan lahap. Makanan yang dibawa induk burung pun habis. Lalu, induk burung itu menciumi ketiga anaknya. Mereka tertawa bersama. 
Beberapa saat kemudian, ketiga anak burung itu mengantuk dan akhirnya tidur lelap. Melihat anak-anaknya tidur, induk burung terbang meninggalkan sarang.
 Bapak turun perlahan dari pohon. Sampai di bawah ia termangu. Bayi-bayi burung di sarang mengingatkannya pada Supri. Tiba-tiba Bapak ingin pulang. Bapak menuju rumah tanpa seekor burung di tangan.
Di perjalanan menuju rumah, Bapak mendengar suara jeritan.
            “Tolong! Tolooong!” 
            Bapak berlari cepat.
            “Tolooong!!!” suara itu semakin jelas.
“Ada apa?!”  nafas Bapak masih tersengal saat tiba di emperan.
Di dalam kamar, Supri terlihat sangat ketakutan.
            “Bapak, untung Bapak cepat pulang. Tadi ada seseorang mengetuk pintu dan berteriak minta Emak  menyerahkan uang. Saat Emak mengintip, dia lelaki memakai topi. Karena takut,  Supri langsung berteriak minta tolong,” tubuh Emak gemetar. 
            “Ke mana dia sekarang?” Bapak bergegas keluar rumah.
            “Entahlah, dia langsung pergi,” Emak memeluk Supri.
            Bapak menghampiri Supri dan Emak lalu mendekapnya cukup lama.
“Bapak tidak akan menangkap burung lagi,” Bapak duduk di samping Emak dan Supri.
            “Bapak akan menyuruh seseorang untuk mencari burung?” tanya Emak ragu.
            “Bukan, Bapak tidak berjualan burung panggang lagi.”
            “Bagaimana sekolah Supri?!”  Emak terkejut mendengar jawaban Bapak.
            “Lihat pohon mangga di samping rumah, buahnya mulai besar.  Jambu air di belakang rumah mulai ranum. Mentimun dan pepaya juga siap dipanen,” terang Bapak.
            “Untuk apa buah-buahan itu?” Emak belum mengerti.
            “Kita beralih jualan rujak,” Bapak berkata mantap.
            “Mengapa berjualan rujak?” kejar Emak.
            “Agar anak-anak burung tidak menangis kehilangan induknya,” Bapak bernafas lega.
            “Oh, jadi Bapak tetap berjualan?” Emak lega mendengar kalimat Bapak.
            Bapak mengangguk.
            Tidak disangka, rujak buah jualan Bapak banyak penggemarnya. Setiap hari Bapak mencari buah di belakang rumah. Bapak berhenti lagi di bawah pohon jambu air. Ia mendongakkan kepala. Bapak tercengang. Bapak melihat tiga anak burung dalam sarang yang mulai besar.
            “Pasti indukmu sedang mencari makan,” ucap Bapak lirih.
            Burung-burung yang lain hinggap dari ranting ke ranting. Kicaunya  sangat merdu. Bapak menikmati nyanyian burung sambil memetik buah. Keranjang Bapak penuh buah-buahan. Ketika berjalan menuju rumah, Bapak menatap sarang burung dari kejauhan.
“Cicit cicit cicit,” suaranya seperti sedang becanda.
Mereka sangat gembira.
            “Baiklah, aku tidak akan menangkap indukmu lagi,” janji Bapak.  

Ket: naskah asli sebelum direvisi redaksi (Dimuat Majalah Berdi 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar