Supri tinggal
bersama Emak dan Bapak. Orang tua Supri berjualan burung panggang. Setiap hari,
pagi-pagi sekali, Bapak berangkat hutan mencari burung.
Hutan itu tak jauh
dari rumah, hanya berjalan beberapa langkah ke belakang rumah. Hujan jati yang
pohonnya sudah tinggi. Di antara pohon-pohon jati itu tumbuhlah tanaman jambu,
mangga dan beberapa buah lainnya. Bapak dan Emak sengaja menanamnya di sana.
“Cepat pulang ya,
Pak,” pesan Supri.
“Ya, kalau sudah
dapat burung, Bapak langsung pulang,” ucap Bapak saat pamit.
Biasanya Supri
ikut Bapak mencari burung. Namun, dari tadi malam badan Supri demam. Emak tak
mengijinkan Supri ikut ke hutan. Anak
laki-laki yang sebentar lagi sekolah itu menurut.
Bapak terus
melangkah ke hutan. Ia membawa keranjang dan bambu panjang. Di ujung bambu
dipasangnya jaring kecil untuk menangkap burung. Bapak melumuri jaring dengan
buah yang dihaluskan. Dengan begitu, banyak burung mendekati jaring Bapak. Dan,
benar saja. Hup!!! Burung itu tertangkap. Bapak menarik bambu lalu dipindahnya
burung dalam keranjang.
Sementara itu,
Emak meracik bumbu panggang di rumah.
Supri duduk di samping Emak. Ia selalu mengamati Emak dan Bapak memasak.
“Oh, sudah
dingin,” Emak memegang dahi Supri.
Supri mengamati
Emak mengulek bumbu. Biasanya Supri membantu mengupas bawang putih tetapi kali
ini Emak melarangnya.
“Kalau
sudah siap, saya bawa keluar ya, Mak,” kata Supri.
“Boleh,
tapi biar Emak saja yang bawa kamu masih tak enak badan,” Emak membawa bahan jualan ke depan.
“Moga-moga
panggangnya habis ya, Mak,” Supri menatap panci besar.
“Iya,
nanti uangnya ditabung untuk masuk sekolah,” sahut Bapak di dapur.
Supri
mengangguk. Rupanya doa Supri hari itu terkabul. Burung panggang terjual habis.
Bahkan Supri tidak kebagihan. Supri makan dengan bumbu burung panggang dan
tempe goreng.
Malam merambat.
Bapak dan Emak membereskan tempat jualannya. Setelah itu semua istirahat. Lega
sekali hati Emak dan Bapak.
Seperti
biasa Bapak memasuki kawasan hutan, kali ini lebih pagi dari biasanya.
Bapak memakai baju lengan panjang, kaos
kaki dan sarung. Di tengah perjalanan, Bapak berpapasan dengan seorang laki-laki memakai topi. Lelaki itu
berjalan sangat cepat sehingga Bapak tidak bisa mengenalinya. Sosok itu berlari
keluar hutan.
“Cicit
cuwit cicit cuwit,” sambut
burung-burung.
Langkah
Bapak terhenti oleh suara yang mengusik dari atas pohon. Dalam keremangan, Bapak mencari sumber
suara. Ternyata tidak jauh dari tempat
Bapak berdiri. Bapak memberanikan diri
memanjat pohon jambu air.
“Cicit
cicit cicit,” terdengar suara dari sarang.
Bapak
tertegun memandangi ulah tiga anak burung yang masih bayi.
“Ke
mana induknya?” Bapak bertanya sendiri.
“Cicit
cicit cicit,” bayi-bayi burung itu seperti memanggil.
Bapak
mendekatkan kepalanya ke sarang. Astaga!!! Ketiga anak burung yang masih kecil
itu mengeluarkan air mata. “Ada apa denganmu?” tanya Bapak gusar.
Belum
sampai menemukan jawaban, Bapak dikejutkan oleh seekor burung yang mendarat di
sampingnya.
“Oh,
itu induknya,” gumam Bapak.
Bapak
terperangah. Ia menatap pemandangan di hadapannya lekat-lekat. Induk burung itu
menyuapi anak-anaknya. Mereka makan dengan lahap. Makanan yang dibawa induk
burung pun habis. Lalu, induk burung itu menciumi ketiga anaknya. Mereka
tertawa bersama.
Beberapa saat
kemudian, ketiga anak burung itu mengantuk dan akhirnya tidur lelap. Melihat
anak-anaknya tidur, induk burung terbang meninggalkan sarang.
Bapak turun perlahan dari pohon. Sampai di
bawah ia termangu. Bayi-bayi burung di sarang mengingatkannya pada Supri.
Tiba-tiba Bapak ingin pulang. Bapak menuju rumah tanpa seekor burung di tangan.
Di perjalanan
menuju rumah, Bapak mendengar suara jeritan.
“Tolong!
Tolooong!”
Bapak
berlari cepat.
“Tolooong!!!”
suara itu semakin jelas.
“Ada apa?!” nafas Bapak masih tersengal saat tiba di
emperan.
Di dalam kamar,
Supri terlihat sangat ketakutan.
“Bapak,
untung Bapak cepat pulang. Tadi ada seseorang mengetuk pintu dan berteriak
minta Emak menyerahkan uang. Saat Emak
mengintip, dia lelaki memakai topi. Karena takut, Supri langsung berteriak minta tolong,” tubuh
Emak gemetar.
“Ke
mana dia sekarang?” Bapak bergegas keluar rumah.
“Entahlah,
dia langsung pergi,” Emak memeluk Supri.
Bapak
menghampiri Supri dan Emak lalu mendekapnya cukup lama.
“Bapak tidak akan
menangkap burung lagi,” Bapak duduk di samping Emak dan Supri.
“Bapak
akan menyuruh seseorang untuk mencari burung?” tanya Emak ragu.
“Bukan,
Bapak tidak berjualan burung panggang lagi.”
“Bagaimana
sekolah Supri?!” Emak terkejut mendengar
jawaban Bapak.
“Lihat
pohon mangga di samping rumah, buahnya mulai besar. Jambu air di belakang rumah mulai ranum.
Mentimun dan pepaya juga siap dipanen,” terang Bapak.
“Untuk
apa buah-buahan itu?” Emak belum mengerti.
“Kita
beralih jualan rujak,” Bapak berkata mantap.
“Mengapa
berjualan rujak?” kejar Emak.
“Agar
anak-anak burung tidak menangis kehilangan induknya,” Bapak bernafas lega.
“Oh,
jadi Bapak tetap berjualan?” Emak lega mendengar kalimat Bapak.
Bapak
mengangguk.
Tidak
disangka, rujak buah jualan Bapak banyak penggemarnya. Setiap hari Bapak
mencari buah di belakang rumah. Bapak berhenti lagi di bawah pohon jambu air.
Ia mendongakkan kepala. Bapak tercengang. Bapak melihat tiga anak burung dalam
sarang yang mulai besar.
“Pasti
indukmu sedang mencari makan,” ucap Bapak lirih.
Burung-burung
yang lain hinggap dari ranting ke ranting. Kicaunya sangat merdu. Bapak menikmati nyanyian burung
sambil memetik buah. Keranjang Bapak penuh buah-buahan. Ketika berjalan menuju
rumah, Bapak menatap sarang burung dari kejauhan.
“Cicit cicit
cicit,” suaranya seperti sedang becanda.
Mereka sangat
gembira.
“Baiklah,
aku tidak akan menangkap indukmu lagi,” janji Bapak.
Ket: naskah asli sebelum direvisi redaksi (Dimuat Majalah Berdi 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar