Kamis, 28 Juni 2018

Gadis Bermata Jelita


Untuk Gadis Bermata Jelita…
Assalamu alaikum,

Saat menulis ini, aku tidak tahu kamu di mana. Namun aku masih mengingat betul perjumpaan kita. Pertengahan 2002, aku menjadi anggota komite sebuah TK swasta di Denpasar. Aku ikut kunjungan ke Sekolah Berkebutuhan Khusus bersama murid TK.

Ilustrasi: Karya putri ke-2 saat balita


“Bu, saya mau cuci tangan,” ucapmu lirih.

Lalu kau berjalan sendiri menyisiri pinggiran bangku. Langkahmu hati-hati. Sesampainya di ujung rungan, kau condongkan badanmu ke depan, lalu kau putar kran air. Kau basuh kedua tanganmu, kau bilas bersih, lalu langkahmu kembali ke tempat semula. Kau pintar menemukan kembali tempat dudukmu tanpa ada yang memandu.

Aku lupa siapa namamu, namun aku bisa mengenang perbincangan kita waktu itu.

“Sudah sarapan?” kulontarkan tanya di sela-sela acara.

Kau mengangguk, “Selalu sarapan sebelum berangkat.”

Kubantu membetulkan kain penutup kepalamu yang miring ke kiri.

“Terima kasih, Bu Guru,” suaramu sopan mengetuk perasaan.

Kubisikkan padamu, “Ini bukan Ibu Guru, ini orang tua murid TK yang sedang bermain ke sini. Panggil, “Bunda”, ya.

“Oh iya, maaf,” lagi-lagi kau mengangguk manis. 

Kuraih tangan mungilmu, kupegang erat sepanjang acara. Melalui salah seorang pengajar, kutahu, kau terlahir seperti bayi umumnya. Kala itu kedua orang tuamu belum menyadari semuanya. Baru saat usiamu enam bulan, kedua orang tuamu harus menerima kenyataan memiliki bayi tuna netra. Aku memelukmu seketika.

Jika gurumu tidak menceritakan keadaanmu, sulit bagiku mempercayai kamu menjadi salah satu siswi di sekolah itu. Kau tak ubahnya bocah pintar lainnya. Bernyanyi ceria, bercanda, berlarian tanpa khawatir jatuh. Satu keadaan yang membedakan dirimu dengan anak-anak umumnya, saat kau membaca. Begitu terampilnya kau mengeja huruf-huruf braile.

Saat beristirahat...

“Disuapin?” tawarku berharap kau mengangguk lagi.

“Terima kasih, bisa makan sendiri,” kedua matamu bersinar menerangi hati.

Kutunggui kau selama makan, sambil bercerita. Kedua matamu berpijar. Senyummu selalu mengembang seolah tak ada yang kurang. Dalam pandanganku kau demikian sempurna. Di usiamu lima tahun kau telah banyak memberiku pemahaman.

Nak, yang kupanggil Gadis Bermata Jelita
Kau tak pernah tahu, sejak itu dirimu salah satu penyemangat hidupku. Pada setiap langkah berat dan nyaris berhenti, terputar kembali perjumpaan singkat kita. Pertemuan yang tidak pernah kita rencanakan. Perjumpaan yang telah diatur sedemikian rupa olehNya. Aku meyakini ini sebagai cara Tuhan mengingatkan diriku untuk jangan pernah menyerah pada keadaan. Sesulit apapun!

Nak, yang sekarang menjelma gadis belia…
Tetaplah menebar semangat pada sekelilingmu. Sebarkan harapan-harapan baru lewat pendar  kedua matamu. Kedua penglihatanmu tak mampu bercerita keindahan dunia, akan tetapi sorotmu mampu menerangi hati-hati sunyi. Semoga kau mampu meraih mimpi yang pernah kau bisikkan padaku waktu itu, “Aku ingin menjadi guru.”

Nak, yang kujuluki sebagai guru kehidupanku…
Sosokmu mengingatkanku pada Helen Keller. Gadis tuna netra lahir di Alabama, 27 Juni 1880. Berkat kegigihannya ia menjelma sebagai penulis, aktivis politik, dan dosen yang melahirkan banyak buku. Tanpa kau sadari kau telah mewarisi semangat penulis buku The Strong of My Life itu. Semoga aku bisa terus belajar darimu dan dari teman-temanmu, bahwa hidup ini tentang apa yang bisa kita berikan, bukan apa yang kita inginkan. Terima kasih, ya, Nak.

Salam sayang Bunda untukmu entah di mana sekarang...

 Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar