Untuk Gadis Bermata Jelita…
Assalamu alaikum,
Saat menulis ini, aku tidak tahu kamu di mana. Namun
aku masih mengingat betul perjumpaan kita. Pertengahan 2002, aku menjadi
anggota komite sebuah TK swasta di Denpasar. Aku ikut kunjungan ke Sekolah Berkebutuhan Khusus bersama murid TK.
![]() |
Ilustrasi: Karya putri ke-2 saat balita |
“Bu, saya mau cuci tangan,” ucapmu lirih.
Lalu kau berjalan sendiri menyisiri pinggiran bangku.
Langkahmu hati-hati. Sesampainya di ujung rungan, kau condongkan badanmu ke
depan, lalu kau putar kran air. Kau basuh kedua tanganmu, kau bilas bersih,
lalu langkahmu kembali ke tempat semula. Kau pintar menemukan kembali tempat
dudukmu tanpa ada yang memandu.
Aku lupa siapa namamu, namun aku bisa mengenang
perbincangan kita waktu itu.
“Sudah sarapan?” kulontarkan tanya di sela-sela
acara.
Kau mengangguk, “Selalu sarapan sebelum berangkat.”
Kubantu membetulkan kain penutup kepalamu yang
miring ke kiri.
“Terima kasih, Bu Guru,” suaramu sopan mengetuk
perasaan.
Kubisikkan padamu, “Ini bukan Ibu Guru, ini orang
tua murid TK yang sedang bermain ke sini. Panggil, “Bunda”, ya.
“Oh iya, maaf,” lagi-lagi kau mengangguk manis.
Kuraih tangan mungilmu, kupegang erat sepanjang acara. Melalui salah seorang
pengajar, kutahu, kau terlahir seperti bayi umumnya. Kala itu kedua orang tuamu
belum menyadari semuanya. Baru saat usiamu enam bulan, kedua orang tuamu harus
menerima kenyataan memiliki bayi tuna netra. Aku memelukmu seketika.
Jika gurumu tidak menceritakan keadaanmu, sulit
bagiku mempercayai kamu menjadi salah satu siswi di sekolah itu. Kau tak
ubahnya bocah pintar lainnya. Bernyanyi ceria, bercanda, berlarian tanpa
khawatir jatuh. Satu keadaan yang membedakan dirimu dengan anak-anak umumnya, saat
kau membaca. Begitu terampilnya kau mengeja huruf-huruf braile.
Saat beristirahat...
“Disuapin?” tawarku berharap kau mengangguk lagi.
“Terima kasih, bisa makan sendiri,” kedua matamu
bersinar menerangi hati.
Kutunggui kau selama
makan, sambil bercerita. Kedua matamu berpijar. Senyummu selalu mengembang
seolah tak ada yang kurang. Dalam pandanganku kau demikian sempurna. Di usiamu
lima tahun kau telah banyak memberiku pemahaman.
Nak,
yang kupanggil Gadis Bermata Jelita…
Kau tak pernah tahu,
sejak itu dirimu salah satu penyemangat hidupku. Pada setiap langkah berat dan
nyaris berhenti, terputar kembali perjumpaan singkat kita. Pertemuan yang tidak
pernah kita rencanakan. Perjumpaan yang telah diatur sedemikian rupa olehNya.
Aku meyakini ini sebagai cara Tuhan mengingatkan diriku untuk jangan pernah
menyerah pada keadaan. Sesulit apapun!
Nak,
yang sekarang menjelma gadis belia…
Tetaplah menebar
semangat pada sekelilingmu. Sebarkan harapan-harapan baru lewat pendar kedua matamu. Kedua penglihatanmu tak mampu
bercerita keindahan dunia, akan tetapi sorotmu mampu menerangi hati-hati sunyi.
Semoga kau mampu meraih mimpi yang pernah kau bisikkan padaku waktu itu, “Aku
ingin menjadi guru.”
Nak,
yang kujuluki sebagai guru kehidupanku…
Sosokmu mengingatkanku
pada Helen Keller. Gadis tuna netra
lahir di Alabama, 27 Juni 1880. Berkat kegigihannya ia menjelma sebagai
penulis, aktivis politik, dan dosen yang melahirkan banyak buku. Tanpa kau
sadari kau telah mewarisi semangat penulis buku The Strong of My Life itu. Semoga aku bisa terus belajar darimu dan
dari teman-temanmu, bahwa hidup ini tentang apa yang bisa kita berikan, bukan
apa yang kita inginkan. Terima kasih, ya, Nak.
Salam sayang Bunda
untukmu entah di mana sekarang...
Wassalam.